Bicara soal berita, penyebaran informasi kerap dilakukan oleh media mainstream atau oleh mereka yang bekerja sebagai jurnalis/wartawan. Tidak hanya pekerja profesional, namun juga jurnalisme warga-citizen journalism yang jika digabungkan, mengumpulkan sebuah kumpulan informasi berita entah tulisan, video, gambar, audio menjadi dapat diakses begitu cepat dan mudah.Â
Inilah yang membentuk sebuah urgensi, seperti menyatakan "Di luar sana ada seperti ini, dan kau harus tau". Semua menyatu dan melihat ini menjadi konflik yang dihadapi bersama.
Sebagaimana kita tahu, berita yang beredar juga harus berintegritas dan terjamin akurasinya, lengkap dengan kode etik jurnalistik yang senantiasa mengikuti. Secara tidak langsung, ini juga menguji bagaimana warga negara bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya, terkhusus dalam melakukan aktivitas jurnalistik. Lalu, sudahkah kita melakukannya dengan baik?Â
Ini bisa menjadi pisau bermata dua jika ternyata apa yang kita akses bukan sesuatu yang kebenarannya masih kabur. Misalnya saja dalam aksi penolakan RUU KUHP, seperti butuh kejelian menganalisis pergerakan yang terjadi- apakah memang kita mahasiswa tahu apa yang kita bicarakan dan lakukan, atau hanya terkena efek bandwagon (ikut-ikutan). Entah, mungkin tidak menjadi masalah besar, yang penting jika sudah ramai, barangkali DPR lalu berkedut dan semakin terdesak melihat kekurangan dari beberapa rancangan perundangan mereka.
Jurnalisme Multimedia adalah Jurnalisme yang Kreatif
Kata-kata tidak lagi cukup untuk memenuhi permintaan konsumen. Surat kabar atau mereka yang lain berbabis cetak merasakan beban terbesar dari perubahan di dunia serba digital ini.Â
Dengan semakin banyak media dalam bentuk portal berita yang muncul, ini menjadi perluasan kesempatan pada berbagai kemampuan yang dibutuhkan di ruang redaksi. Maka kolaborasi adalah kuncinya. Mulai dari jurnalis, analis data, desainer grafis, fotografer, animator, semuanya harus bekerja bersama untuk membuat konten jurnalisme multimedia yang menarik perhatian pembaca setiap kali mereka mengakses masuk.
Banyak ruang redaksi (news room) dan organisasi media memerlukan dan melakukan pencabangan informasi dengan penggunaan media sosial aktivitas jurnalistik mereka. Ini adalah cara yang ampuh untuk memaksimalkan cerita dan membagikannya kepada konsumen.
Masih ingat ketika bicara soal pergerakan dua "dunia" berbeda? Kali ini konteks dua dunia yang berbeda adalah bagaimana jurnalisme multimedia seakan menggabungkan realitas dan fiksi menjadi satu dalam penyebaran beritanya. Media sekarang bahkan tidak memiliki berita dalam bentuk cetak, semuanya dilakukan secara digital penuh di website resmi, dan akun-akun di hampir setiap media sosial yang ada, memungkinkan angin segar kebaruan dalam jurnalisme multimedia.
Mari kita ambil contoh portal berita Tirto.id di media sosial Instagram, sebagaimana fitur utamanya gambar, Tirto.id muncul sebagai jurnalisme presisi yang menampilkan infografik di setiap berita unggahannya disini. Dalam infografiknya, Tirto.id tidak jarang memunculkan data berita dengan menggaet budaya popular (pop culture) yang sedang ramai atau timeless dari masa ke masa.Â
Referensi ini bisa berasal dari film, musik, komik, video game, dan seni lainnya. Kita sebagai konsumen, sangat terhibur demikian jurnalis mereka yang bekerja di media dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Membaca berita bukan lagi hal yang membosankan, jurnalisme bukan lagi sesuatu yang begitu purna atau serba formal (kode etik tetap utama).