Gejolak situasi perubahan hidup yang dirasakan di tengah pandemi Covid-19, rupanya tak memutus aspek riah-riuh perayaan tahunan, Valentine's Day (V-day) atau hari kasih sayang yang jatuh setiap tanggal 14 Februari. Semarak perayaan V-day yang banyak diklaim sebagai harinya kaum muda-mudi untuk saling mencintai, saling ber-kasih-sayang ini, terciprat dengan ragam efouria yang bergema bahkan sejak hari pertama di bulan Februari tiba.Â
Pernak-pernik V-day, semisal bunga, boneka, coklat, parfum, aneka kartu ucapan: Ich liebe Dich, Happy Valentine's Day, I love you; berjejer memenuhi sejumlah toko dan supermarket. Tak hanya itu, gejolak kasih-sayang V-day juga mengemuka dengan hadirnya aneka tawaran promo, sebut saja salah satunya promo yang lazimnya hadir, promo Cashbac yaitu #KodeCinta. Postingan-postingan bertajuk cinta, kasih-sayang di medsos, juga turut melengkapi gairah perayaan V-day. Semuanya itu seolah-olah mau menegaskan betapa unik dan berharganya perayaan V-day, sehingga apa pun bisa dibeli dan dihadirkan demi mewujudnya aspek "mencintai, kasih-sayang" itu.
Meski demikian, ria-riuh-nya perayaan V-day tak terlepas pula dari diskusi-diskusi kontoversial berkenaan dengan layak-tidaknya V-day itu dirayakan. Problem ini sebetulnya hadir dengan alasan historis perayaan V-day itu sendiri, serta aspek negatif semisal maraknya tindak "pembuktian cinta" yang menyimpang antarpasangan belia di hari Valentine.
V-day dan Historisitasnya
Segi historis V-day sesungguhnya memiliki banyak versi cerita dan penafsiran. Sekurang-kurangnya ada dua cerita historis yang dapat penulis tampilkan dalam meninjau hadirnya perayaan V-day setiap tanggal 14 Februari itu.
Pertama, V-day dirayakan sebagai pengganti festival Lupercalia yang dahulu kala menjadi tradisi perayaan orang-orang Romawi Kuno. Festival Lupercalia merupakan festival perjodohan, di mana saat festival itu dirayakan hadir sebuah kesempatan bagi para perempuan untuk meletakan nama mereka di dalam sebuah tempat, yang kemudian akan diundi dan diambil oleh para lelaki. Nama perempuan yang dipilih oleh seorang lelaki sewaktu undian itu berlangsung; perempuan itulah yang akan menjadi pasangan hidupnya. Selain itu, festival Lupercalia juga dimaknai sebagai sebuah perayaan untuk menghormati dewa kesuburan dalam kehidupan bangsa Romawi Kuno.
Kedua, Valentine's Day dirayakan sebagai sebuah kenangan akan kemartiran lelaki kudus bernama Valentine pada masa pemerintahan Kaisar Claudius II. Untuk kisah historis kemartiran Valentine ini, juga memiliki sejumlah versi. Ada yang mengatakan bahwa Valentine adalah seorang Uskup di Terni, Italia yang biasa menyembuhkan orang-orang sakit, termasuk anak dari penjaga penjara yang tuna netra, yang kemudian jatuh hati kepadanya. Valentine kala itu dipenjarakan karena mencoba menyebarkan agama Kristen kepada sejumlah masyarakat yang masih menyembah berhala. Ada juga versi cerita kemartiran lelaki kudus Valentine itu, yang dijatuhi hukuman mati akibat tindakannya yang membantu orang-orang Kristen untuk lari dari penjara Romawi karena sering disiksa secara keji.
Versi kisah kemartiran Valentine yang pada umumnya dikenal, ialah bahwa Valentine dijatuhi hukuman mati karena ketahuan menikahkan para parajurit kekaisaran. Kala itu, Kaisar Clauidus melarang prajurit-prajuritnya untuk menikah. Sebab baginya para prajurit akan semakin tangguh apabila mereka sama sekali tidak mengikat hubungan pernikahan dengan istri-istri mereka.Â
Telepas dari ragam wacana tentang peristiwa sejarah perayaan Valentine's Day (yang kadang berkecenderungan pula melahirkan polemik), adalah sepatutnya kita boleh melirik sorot pemaknaan perayaan Valentine's Day itu sendiri. Lazimnya, oleh kebanyakan kaum muda-mudi serta mengena pula dalam pandangan umum, melihat dan memaknai hari Valentine sebagai hari saling berbagi cinta, mencintai, hari kasih sayang. Walau kadang pula (maaf) makna yang demikian cenderung mengalami penyimpangan lewat tindak mengidentikan V-day dengan hal-hal yang bernuansa seksualitas. Sehingga tidak heran, bila diskusi kontroversial yang melarang ria-riuh V-day kadang mengemuka secara tajam.Â
Mencintai yang "Tak Dapat Dicintai"
Perihal "kasih-sayang, mencintai" dalam memaknai V-day, bolehlah kita menengok, mengangkat, sekaligus belajar mencintai (ber-kasih-sayang) itu, lewat ulasan Reza A.A Wattimena dalam Rumah Filsafat.com, bertajuk "Mencintai yang 'Tak Dapat Dicintai' ". Â Reza membahas tindak mencintai dalam perspektif filsuf Slavoj iek, yang ditulis Kathleen O'Dwyer (2012) dalam "iek on Love". Reza menulis bahwa cinta bagi iek, merupakan suatu untuk mencintai yang seolah "tak dapat dicintai". Cinta lahir dari kebebasan dan tidak pernah dapat diperintahakan begitu saja, apalagi dipaksakan.
Titik tolak iek dalam memakani cinta, mencintai, erat kaitannya dengan salah satu ajaran Kristiani: cintailah tetanggamu, atau dalam bahasa Reza orang lain, yang lain dari saya. Mengutip pendapat Lacan, bagi iek "orang lain, yang lain (tetanggamu)" adalah the real, yang tak terduga itu. Yang adalah orang lain, yang lain (tetanggamu) itu dengan segala kelemahan, kerapuhan, keanehan, dan kesalahan yang sifatnya traumatik. "Orang lain (tetanggamu)" dilihat pula lebih jauh sebagai sebuah realitas yang unik, nyata, yang tak dapat kita kurangi dalam harapan / pikiran kita; juga yang tak dapat kita hindari dengan ilusi-ilusi, harapan luhur yang kita pahami dan punyai tentangnya.
Mencintai bagi iek merupakan tindak mencintai yang traumatis, "yang tak terduga", dan yang mengancam kita dengan banyak perbedaan yang ia tawarkan. Sebab apabila tindak mencinta kita itu diarahkan untuk "yang terduga", berarti itu tidak mencintai sama sekali (ilusi), karena kita sudah menebak dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika kita mencintai yang tak terduga itu, yang tak dapat kita terka, yang tak dapat dicintai, yang tak dapat kita bungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan luhur manusiawi kita.
Orang lain, yang lain (tetanggamu) yang menjadi titik tuju cinta kita merupakan suatu realitas yang unik dan nyata (the real) yang tak dapat kita kurung dan tak dapat kita hindari dengan ilusi, harapan, pandangan, pemikiran kita tentangnya. Seringkali tindak mencintai kita merupakan tindak mencintai dengan sebuah perspektif, pandangan umum manusiawi, bahwa sesama kita, pasangan kita memiliki keserupaan pandangan akan wujud kasih-sayang, cinta dengan yang kita tampilkan kepadanya. Dalam kenyataan, hal ini tak dapat diduga. The real yang sesungguhnya merupakan the real yang lain dan nyata, yang sifatnya traumatik dan mengancam. Dan inilah wujud mencintai, cinta (kasih-sayang) yang diharapkan iek. Dirinya bahkan menegaskan, sangat mudah bagi kita untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidup kita, cukup jauh dari kita, dan ada jarak yang terus memisahkan: saya dengan mereka. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanyalah tindak tawar menawar semata. Cinta yang sejati merupakan cinta: ketika orang masuk ke dalam hidup kita tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap mencintainya.
Gebyar valentine's day kali ini, bagi setiap kita mungkin berkelana dengan perwujudan tindak mencintai dengan titik tujunya masing-masing. Namun, keserupaan dalam memaknai dan mengarahkan kasih-sayang, mencintai  itu, haruslah mengklaim payung niat untuk senantiasa bergerak dalam cinta, "mencintai yang tak dapat dicintai, yang tak terduga," the real-nya kita masing-masing. Selamat Mencintai!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H