Mohon tunggu...
Bayu Tonggo
Bayu Tonggo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penulis adalah Mahasiswa di IFTK Ledalero, Maumere, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bikameral DPD RI: Menuju Demokrasi Deliberatif

2 Oktober 2020   17:11 Diperbarui: 2 Oktober 2020   17:15 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Pikiran Rakyat.com

Publik Indonesia, tatkala memasuki awal bulan (Oktober) ini, patutlah berbangga dalam eksistensi kehidupannya sebagai warga, masyarakat yang demokratis. Bahwasannya, salah satu lembaga perwakilannya (DPD RI) merayakan hari jadinya yang ke-16 (1 Oktober 2020).

Kebanggaan ini, dalam harapannya haruslah merupakan sebuah kebanggan yang kritis-evaluatif. Maksudnya bahwa, apa yang dibanggakan mesti ditilik lebih jauh (kritis) dan mendapat penelaahan evaluatif dari apa yang dibanggakan.

Perayaan ulang tahun DPD RI kali ini, menyeduh tema "DPD RI: Dari Daerah untuk Indonesia". Tema ini boleh menjadi pijakan kritis-evaluatif bagi kita dalam meninjau keberadaan DPD yang selama ini bergerak dalam "kerjanya" mewakili rakyat, sebagai lembaga bikameral (kamar kedua) pada tubuh parlemen.

Melirik Bikameral DPD RI
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menjadi salah satu lembaga perwakilan (parlemen), yang dibentuk oleh MPR pada November 2001 melalui perubahan ketiga UUD 1945. Kehadiran DPD dilihat sebagai upaya memenuhi rasa keadilan masyarakat daerah, serta memperluas semangat dan kapasitas daerah dalam kancah kehidupan nasional. Terbentuknya DPD turut mengubah sistem perwakilan (parlemen) di Indonesia, yang semula ber-sistem unikameral (satu kamar), berubah menjadi sitem perwakilan yang bikameral (dua kamar).

Bikameral DPD dalam fungsi legislasi selama ini, banyak menuai perdebatan publik, berkenaan dengan perlu atau tidak perlu eksistensi DPD pada tubuh parlemen. Hal kontroversial ini, sebetulnya secara tersirat ingin menilik sekaligus mengkritik, pertama, fungsi/peran yang dihadirkan bagi DPD menurut UU Nomor 22 Tahun 2003, hingga undang-undang perubahan terbaru yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014. Atau pun kedua, eksistensi DPR pada tubuh parlemen, apakah secara sungguh menjalankan fungsi representatifnya (?).

Konsep bikameral yang dikaitkan dengan posisi DPD pada parlemen, sebetulnya merupakan praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar. Konsep ini lahir dari pandangan Aristoteles dan Polybius, yang mengargumentasikan bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip demokrasi dan oligarki. Ada pula Jeremy Bentham, yang pertama kali mengemukakam term bikameral tersebut. Sementara James Madison, melihat term bikameral dalam arti, perlu adanya kamar kedua (kamar penyeimbang) yang berisi orang-orang yang lebih independen, sehingga dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan kamar lain (Sitinurbaya.com, diakses pada 19 September 2020).

Konsep bikameral sesungguhnya ingin mengidealkan kehidupan bernegara yang maksimal dalam fungsi legislasi. Sehingga berbagai kepentingan masyarakat atau pun kelompok/golongan dalam negara dapat terepresentasikan.

Untuk konteks Indonesia sebagai negara kesatuan, keberadaan bikameral dalam sistem pemerintahan terwujud nyata di dalam kelembagaan DPD. Hal ini seiring dengan menguatnya spirit reformasi, desentralisasi dan keberagaman sosio-kultural bangsa Indonesia.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) dalam keberadaannya pada tubuh parlemen (bikameral) berpijak secara hukum pada pasal 22 C dan D UUD 1945. Pasal ini menegaskan akan posisi DPR sebagi lembaga perwakilan daerah. Pasal tersebut terejawantah dalam UU MD3 (Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD), yang semula tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 2003; kemudian mendapat perubahan pada UU Nomor 17 Tahun 2014.

Pandangan akan Eksistensi Bikamelar DPD
Dalam perjalanan waktu, basis hukum bagi bikameral DPD tersebut banyak dinilai kurang menghadirkan sifat representatif kedaerahan (lokal) dalam kehidupan negeri kita (Indonesia) yang berpayung demokratis. Misalkan saja pertama, seperti apa yang diutarakan oleh Advokat senior dan pakar hukum Todung Mulya Lubis dalam Tempo.co (Jumat, 26 Agustus 2016). Beliau berujar, bahwasannya kewenangan DPD dalam keberadaanya sebagai lembaga legislatif masih melemah. Hal ini dapat dilihat pada pasal 22 D Undang Undang Dasar Negara RI 1945 yang menulis bahwa DPD "dapat" mengajukan RUU kepada DPR.

Kata "dapat", bagi Todung tak menunjukan makna afirmatif dan tak memperlihatkan makna yang positif. Dalam artian bahwa kata "dapat" memiliki kecenderungan digunakan, bisa juga tak digunakan. Semestinya term yang tepat ialah "berhak". Sehingga DPD dalam pelaksanaan tugasnya memiliki hak dan sisi lainnya tuntutan kewajiban.

Kedua, secara official belum ada aturan berkenaan dengan bentuk pertanggungjawaban seorang anggota DPR kepada rakyat. Padahal dalam misi DPD sendiri salah satunya, ialah "memperkuat kapasitas pelaksanaan fungsi representasi yang mencakup penampungan dan penindaklanjutan aspirasi daerah dan pengaduan masyarakat, serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang kelembagaan DPD RI dalam rangka akuntabilitas". Misi ini sekurang-kurangnya mencerminkan tugas DPD yang tidak hanya dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah, tetapi juga menindaklanjuti aspirasi tersebut dalam konteks akuntabilitas (lihat Ryan Muthiara Wasti, Jurnal Hukum dan Pembangunan 47 No. 4, 2017).

Dua contoh pandangan terhadap eksistensi bikamelar DPD tersebut, boleh menjadi sebuah kritik bagi DPD sendiri, atau pun segenap aturan yang me-manage-nya. Bahwasannya, apakah kinerja DPD dan pengejawantahan aturannya selama ini, benar-benar telah menyuplai sumbangsih representatif masyarakat daerah? Ataukah justru dalam kinerjanya menciptakan pandangan "ke-tidak-berguna-an" dalam keberadaannya?

Bikamelar DPD: Bentuk Penyajian Demokrasi Deliberatif
Dalam konteks permasalahan ini bolehlah ditilik pandangan demokrasi deliberatif ala Jurgen Habermas, guna mempertegas eksistensi bikameral DPD pada tubuh parlemen. Demokrasi deliberatif idealnya menciptakan ruang atau forum, di mana persoalan dan perspektif publik ditemukan, dipetakan, serta didiskusikan bersama. Dalam hal ini, persoalan-persoalan tersebut dapat dibahas dari berbagai aspek, sebelum menjadi sebuah keputusan politis (Madung, 2011 : 104).

Konsep demokrasi deliberatif yang demikian, boleh menjadi bahan pertimbangan serta masukan bagi DPD dan aturan-aturan yang menatanya; tatkala DPD berkiprah dalam lembaga perwakilan. Bahwasannya, keberadaan DPD pada kamar kedua parlemen sudah merupakan bentuk penyajian demokrasi deliberatif. DPD dalam pelaksanaanya fungsinya akan mewakili aspirasi-aspirasi rakyat-rakyat di daerahnya dan kemudian bergerak dalam usul, pertimbangan, check and balances, di dalam parlemen sendiri. Dengan adanya hal ini, sebetulnya telah dibangun sebuah ruang konsensus dalam kehidupan demokrasi deliberatif: ditemukan, dipetakan, serta didiskusikan bersama.

Namun, hal tersebut akan menyibak sebuah fakta kesia-siaan, bila ragam problem yang ada dalam dan mengitari DPD, semisal permasalahan akan "ketidaknyamanan" posisi DPD sebagai lembaga perwakilan daerah pada parlemen; masih terus menggantung, tanpa ada upaya pemecahannya. Untuk itu, penetapan aturan untuk menyamankan keberadaan DPD sebagai kamar kedua (bikamelar) pada tubuh parlemen, menjadi sebuah pengharapan tersendiri. Happy birthday DPD RI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun