Mohon tunggu...
Bayu Tonggo
Bayu Tonggo Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penulis adalah Mahasiswa di IFTK Ledalero, Maumere, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Meme untuk Negeri Berdemokrasi

17 September 2020   21:14 Diperbarui: 17 September 2020   21:23 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://www.kompasiana.com/tangselpeduli/

Sekitar tahun 80-an, lahirlah era kehidupan dunia baru yang dimotori  oleh sebuah generasi remaja. Dunia menyebutnya sebagai sebuah era digitalisasi, yang merupakan bentuk modernisasi dari perkembangan teknologi yang banyak dikaitkan dengan hadirnya komputer dan internet.

Sejak itu, banyak hal dalam berbagai aspek kehidupan dunia dibaharui, berkembang begitu cepat, serta mendapat imbasnya. Tatanan kehidupan bernegara dengan bentuk atau sistem kepemerintahannya misalnya, turut ada dalam pengaruh perkembangan teknologi itu. 

Hal tersebut boleh jadi dipicu oleh keberadaan rakyat, masyarakat, sebagai  elemen penting kehidupan bernegara yang menghidupi spirit kebersamaan (socialitas) dalam kerangka connectivus socialis: eksistensi manusia (masyarakat, rakyat) dikaitkan dengan koneksi; jaringan internet.

Connectivus socialis akan mengarahkan setiap orang yang terlibat dalam perkembangan teknologi (digitalisasi) untuk bergerak dalam kebebasan memanfaatkan, membaharui, dan mengembangkan produk-produk teknologi yang harus serba kekinian. 

Pada titik inilah manusia ditantang untuk ada dalam pilihan yang sangatlah reflektif: memanfaatkan teknologi demi terciptanya aspek kenyamanan, kebaikan diri dan sesama. Ataukah  justru memanfaatkan, mengembangkan teknologi dalam acuan tindak individualistis.

Dalam kerangka pemikiran tersebut, bolehlah kita melirik salah satu produk modernisasi teknologi yang cukup viral dalam kehidupan masyarakat: "meme"; dalam keberadaannya untuk tatanan kehidupan bernegara yang berpayung demokratis.

Meninjau Meme sebagai "Virus" Akal Budi

Meme dalam perkembangan teknologi mengambil tempat pada  media sosial dan menjadi semacam virus akal budi, yang sangat masif untuk menyebar dan memengaruhi perilaku dan pola pikir manusia. 

Sekurang-kurangnya meme, dalam pandangan umum dapat diartikan sebagai cuplikan gambar dari acara televisi, film, atau pun gambar buatan sendiri, yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa dengan menambahkan kata atau tulisan lucu (Kurung Buka. Com, 22 Maret 2020).

Richard Dawkins, orang pertama yang mencetuskan kata meme dalam bukunya berjudul The Slefish Gene (1976), lebih melihat meme dalam pemahaman yang luas. Dirinya mengartikan meme sebagai sebuah basis evolusi kebudayaan manusia yang mampu berkembang bagai virus: menembus, berlipat ganda, dan menyebar. Richard menilik beberapa contoh meme seperti lagu, gagasan, kata-kata yang sedang tren, mode pakaian, dan cara-cara membuat gerabah atau kubah bangunan (Kurung Buka. com, 22 Maret 2020).

Seturut pemahaman Richard tersebut meme sebagai sebuah "virus" boleh jadi akan begitu kuat, cepat memengaruhi setiap orang yang menatap dan mengalaminya. Sebab, bagi Richard, meme dalam kehadiranya akan menembus, berlipat ganda, dan menyebar. Dengan demikian, meme boleh disebut sebagai  "sebuah virus yang menyerang kemampuan akal budi manusia"; yang menular dari otak ke otak, menjangkiti pikiran kita, lalu membuat kita menyebarkannya (Kurung Buka. com, 22 Maret 2020).

Meme untuk Demokrasi

Berkenaan dengan tatanan kehidupan bernegara yang berpayung demokratis, kehadiran meme boleh dimaknai secara positif, sebagai sebuah upaya menyuarakan suara-suara kaum demos (masyarakat kecil, rakyat). Sebab defenisi demokrasi dalam pengejawantahannya haruslah memihak terhadap kaum ini, demos. Hal ini seturut apa yang dipahami Lincoln, demokrasi harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Meme yang dalam eksistensinya tampil bak virus, akan menjadi media penyaluran aspirasi rakyat (demos) guna melihat praktek-praktek kebobrokan kelompok-kelompok kepentingan yang kadang ingin membolak-balik, merombak bentuk kehidupan negara yang berdemokrasi. Kelompok-kelompok kepentingan ini boleh jadi turut terandera oleh raungan digitalisasi yang lebih banyak memanfaatkan dan tinggal pada individualisme, egoisme.

Kita boleh mengambil contoh negara kita Indonesia sebagai sebuah negeri berdemokrasi, yang beberapa waktu lalu cukup dihebohkan dengan tampilnya sekelompok pihak yang menamai kelompok mereka dengan sebutan, Koalisi  Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Banyak pihak menilai bahwa kehadiran kelompok ini, atas pijakan rasa sakit hati yang kalah dalam Pilpres 2019 dan tidak mendapat jabatan dalam pemerintahan Jokowi-Maru'f. Penilaian tersebut  kemudian menyuplai sebuah pendapat, bahwasannya KAMI merupakan sekelompok elite politik yang ingin bersaing dengan segelintir elite lainya demi terpenuhinya dahaga kekuasaan, kenyamanan, dan keuntungan pribadi/kelompok.

Namun, pandangan tersebut banyak dibantah oleh pihak-pihak yang pro-KAMI. Bahwasannya, terbentuknya KAMI, semisal apa yang diujar oleh Fadli Zon, Chairman Institute for Policy Studies; menjadi semacam vitamin untuk kehidupan berdemokrasi. Dirinya menegaskan bahwa kehadiran KAMI akan menyelamatkan demokrasi dari minimnya check and balance (Tempo. co, 31 Agustus 2020).

Meme: Media Partisipatif yang Kritis

Terlepas dari perdebatan penting atau tidaknya kehadiran KAMI di negeri berdemokrasi ini, adanya "meme" boleh menjadi media kritik bagi masyarakat (demos) guna meninjau dan menilik kebenaran di tengah problem perdebatan yang menyentil demokrasi tersebut. 

Di satu sisi, rakyat sebagai andil dari demokrasi harus berkemauan dan sadar bahwa merekalah yang empunya demokrasi. Untuk itu, perjuangan untuk senantiasa jeli melihat problem-problem yang mengganggu kehidupan demokrasi yang menjadi "rumah" dari rakyat tersebut; mestilah senantiasa diupayakan secara terus-menerus.

Penulis, dalam tulisan ini mengajukan sebuah sarana: media "meme"; sebagai salah satu jalur partisipatif masyarakat (demos) untuk berkiprah dalam menyoal setiap problem yang tampil dalam kehidupan demokrasi-nya. Tentu saja meme yang diangkat dan dihidupkan merupakan meme yang bernada sinis-positif (membangun); meme yang sesuai dengan konteks kiritik yang dibangun.

Adanya hal tersebut memungkinkan imbas digitalisasi yang banyak bernada individualistis, dengan tampilnya problem-problem dalam kehidupan sebuah negeri berdemokrasi boleh dilenyapkan. 

Sehingga, tujuan dari semua usaha itu dapatlah terwujud, dengan dibangun sebuah kehidupan negara yang demokratis, yang betul-betul meninjau dengan jeli kepentingan dan kesejahteraan kaum-kaum demos.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun