Seturut pemahaman Richard tersebut meme sebagai sebuah "virus" boleh jadi akan begitu kuat, cepat memengaruhi setiap orang yang menatap dan mengalaminya. Sebab, bagi Richard, meme dalam kehadiranya akan menembus, berlipat ganda, dan menyebar. Dengan demikian, meme boleh disebut sebagai  "sebuah virus yang menyerang kemampuan akal budi manusia"; yang menular dari otak ke otak, menjangkiti pikiran kita, lalu membuat kita menyebarkannya (Kurung Buka. com, 22 Maret 2020).
Meme untuk Demokrasi
Berkenaan dengan tatanan kehidupan bernegara yang berpayung demokratis, kehadiran meme boleh dimaknai secara positif, sebagai sebuah upaya menyuarakan suara-suara kaum demos (masyarakat kecil, rakyat). Sebab defenisi demokrasi dalam pengejawantahannya haruslah memihak terhadap kaum ini, demos. Hal ini seturut apa yang dipahami Lincoln, demokrasi harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Meme yang dalam eksistensinya tampil bak virus, akan menjadi media penyaluran aspirasi rakyat (demos) guna melihat praktek-praktek kebobrokan kelompok-kelompok kepentingan yang kadang ingin membolak-balik, merombak bentuk kehidupan negara yang berdemokrasi. Kelompok-kelompok kepentingan ini boleh jadi turut terandera oleh raungan digitalisasi yang lebih banyak memanfaatkan dan tinggal pada individualisme, egoisme.
Kita boleh mengambil contoh negara kita Indonesia sebagai sebuah negeri berdemokrasi, yang beberapa waktu lalu cukup dihebohkan dengan tampilnya sekelompok pihak yang menamai kelompok mereka dengan sebutan, Koalisi  Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Banyak pihak menilai bahwa kehadiran kelompok ini, atas pijakan rasa sakit hati yang kalah dalam Pilpres 2019 dan tidak mendapat jabatan dalam pemerintahan Jokowi-Maru'f. Penilaian tersebut  kemudian menyuplai sebuah pendapat, bahwasannya KAMI merupakan sekelompok elite politik yang ingin bersaing dengan segelintir elite lainya demi terpenuhinya dahaga kekuasaan, kenyamanan, dan keuntungan pribadi/kelompok.
Namun, pandangan tersebut banyak dibantah oleh pihak-pihak yang pro-KAMI. Bahwasannya, terbentuknya KAMI, semisal apa yang diujar oleh Fadli Zon, Chairman Institute for Policy Studies; menjadi semacam vitamin untuk kehidupan berdemokrasi. Dirinya menegaskan bahwa kehadiran KAMI akan menyelamatkan demokrasi dari minimnya check and balance (Tempo. co, 31 Agustus 2020).
Meme: Media Partisipatif yang Kritis
Terlepas dari perdebatan penting atau tidaknya kehadiran KAMI di negeri berdemokrasi ini, adanya "meme" boleh menjadi media kritik bagi masyarakat (demos) guna meninjau dan menilik kebenaran di tengah problem perdebatan yang menyentil demokrasi tersebut.Â
Di satu sisi, rakyat sebagai andil dari demokrasi harus berkemauan dan sadar bahwa merekalah yang empunya demokrasi. Untuk itu, perjuangan untuk senantiasa jeli melihat problem-problem yang mengganggu kehidupan demokrasi yang menjadi "rumah" dari rakyat tersebut; mestilah senantiasa diupayakan secara terus-menerus.
Penulis, dalam tulisan ini mengajukan sebuah sarana: media "meme"; sebagai salah satu jalur partisipatif masyarakat (demos) untuk berkiprah dalam menyoal setiap problem yang tampil dalam kehidupan demokrasi-nya. Tentu saja meme yang diangkat dan dihidupkan merupakan meme yang bernada sinis-positif (membangun); meme yang sesuai dengan konteks kiritik yang dibangun.