Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Karena bentangan wilayah yang luas ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia yang bukan negara pengklaim menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China Selatan muncul pada tahun 2012.
Indonesia memang tidak ikut mengklaim kawasan Laut China Selatan yang sedang disengketakan antara China dan beberapa negara anggota ASEAN. Namun dengan fakta bahwa konflik tersebut terjadi di wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kedaulatan Indonesia, hal itu akan sedikit banyak akan berpengaruh bagi Indonesia. Dengan melihat fakta bahwa kawasan konflik yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia, bersinggungan langsung dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di kawasan kepulauan Natuna dan sangat berpotesi untuk terjadi konflik, maka tidak bisa pungkiri jika Indonesia pasti akan menerima dampak langsung dari konflik yang terjadi.
Salah satu peran utama Indonesia dalam ASEAN adalah sebagai mediator dan pendukung integrasi regional. Dalam kapasitas ini, Indonesia aktif berupaya memfasilitasi dialog dan penyelesaian konflik di antara anggota ASEAN serta mendukung solusi damai dan mempromosikan hubungan harmonis di kawasan. Penyebab konflik Laut China Selatan adalah saling klaim dari sejumlah negara yang dilewati jalur perairan strategis ini, termasuk China dan Taiwan yang mengeklaim hampir seluruhnya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa konflik Laut China Selatan memiliki dampak serius terhadap keamanan maritim Indonesia, seperti peningkatan anggaran pertahanan, ketidakpastian perdagangan, dan stabilitas politik.
Potensi kekayaan Laut China Selatan yang semakin dapat dieksplorasi belakangan ini mengungkapkan kepada dunia bahwa Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), terutama mineral, minyak bumi dan gas alam. Pemerintah RRC sendiri sangat optimistik dengan potensi SDA yang ada di sana melalui riset-riset yang terus dilaksanakannya. Berdasarkan laporan lembaga Informasi Energi Amerika (Energy Information Administration - EIA), RRC memperkirakan terdapatnya cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat (AS). Sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut China Selatan. Adapun EIA menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan berasal dari gas alam, yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak yang dimiliki Qatar. Di samping itu, perairan kawasan Laut China Selatan merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari berbagai negeri yang terletak disekitarnya.
Menegaskan posisi Indonesia dalam sengketa ini, bahwa Indonesia adalah non-claimant states, atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan. Sengketa Laut Cina Selatan telah membawa dampak bagi Indonesia. Akibat dari sengketa tersebut, ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara terancam karena meningkatkan agresivitas Cina. Upaya perundingan yang semakin memperkeruh hubungan Cina dan Indonesia menjadikan Indonesia harus waspada terhadap ancaman Cina.
Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut terdapat pulau yang tidak berpenghuni, atol atau karang. Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947 Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan.
Terdapat paling sedikit 3 hal yang membuat Laut China Selatan menjadi wilayah perairan yang rawan konflik besar dewasa ini dan masa datang. Pertama, Laut China Selatan adalah sebuah kawasan perairan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang kaya, terutama minyak dan sumber energi lainnya dengan beberapa gugusan pulau yang tersebar di sekitarnya yang menjadi perebutan saling klaim beberapa negara di sekeliling kawasan, seperti China (Republik Rakyat China - RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kedua, karena letaknya yang berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, salah satu yang paling sibuk di dunia dan merupakan jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia dan Amerika ke Asia dan sebaliknya, melalui wilayah perairan negara-negara di paling sedikit di 3 kawasan penting, yakni Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia-Pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak di sekitar Laut China Selatan tersebut, seperti Indonesia dan Singapura, bahkan Amerika Serikat (AS) berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.
Mengingat pentingnya posisi Laut China Selatan yang rawan konflik dan implikasinya yang besar dikemudian hari bila pecah konflik bersenjata terbuka di perairan tersebut, maka penelitian ini akan mengupas, membahas dan menganalisis beberapa penyebab dan implikasi konflik yang rawan dan besar, yang diperkirakan di atas, secara gamblang dan komprehensif. Secara khusus, Indonesia sekalipun bukan negara pengklaim memiliki kepentingan, namun klaim mutlak yang dilancarkan China atas seluruh wilayah perairan Laut China Selatan yang meliputi seluruh kepulauan dan pulau didalamnya, pada tahun 2012 tersebut, turut mengancam kedaulatan dan kepentingan Indonesia di wilayah perairan Natuna, yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Dengan klaim mutlak tersebut, bukan saja kedaulatan wilayah Indonesia atas Kepulauan Natuna yang terancam, tetapi juga seluruh kepentingan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan berdasarkan konsep Wawasan Nusantara, yang dihormati eksistensinya berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, khususnya hak-hak pengelolaan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) hingga 200 mil laut. Padahal, tanpa ini saja hak-hak tradisional nelayan Indonesia di sekitar perairan Kepulauan Natuna sudah terancam.
Konflik dapat dilihat dari berbagai perspektif, dengan melihat latar belakang, aktor yang terlibat dan kepentingannya, serta intensitas dan keluasan wilayah konflik. Dari latar belakangnya, konflik Laut China Selatan dapat dilihat dari klaim historis kepenguasaan wilayah di masa lalu oleh penguasa-penguasa tradisional yang berujung pada klaim pemilikan oleh penguasa selanjutnya dari wilayah kerajaan atau negara yang sama. Sedangkan dari aktor yang terlibat dan kepentingan yang menyertainya, beberapa negara di kawasan, baik yang merupakan anggota ASEAN maupun bukan, serta negara di luar kawasan adalah pemangku kepentingannya. Sementara, dilihat dari intensitasnya, konflik Laut China Selatan selama ini dapat dikategorikan sebagai konflik berskala rendah. Namun, dalam perkembangan di masa depan, jika tidak dapat dikelola dan dicari solusi yang efektif, konflik tersebut dapat semakin terbuka sifatnya dan berkembang luas menjadi suatu konflik bersenjata antar-negara di kawasan. Dilihat dari wilayah kejadian, konflik sering muncul dan berulang terjadi di beberapa titik di kawasan perairan dan kepulauan Laut China Selatan yang berlokasi di kawasan Asia Tenggara, yang adakalanya berlangsung pula di wilayah-wilayah yang dapat diidentifikasikan juga sebagai kawasan Asia Timur. Sehingga, konflik tersebut telah dapat diidentifikasi sebagai konflik kawasan (regional conflict).
Konflik di Laut Cina Selatan dipastikan akan menimbulkan dampak yang siknifikan terhada stabilitas kawasan Asia Pasifik, karena pihak-pihak yang berhadapan merupakan kekuatan besar di Kawasan. Dinamika di Laut Cina Selatan saat ini menunjukkan kecenderungan sulitnya mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan di perairan tersebut, baik negara-negara pengklaim maupun negara pengguna perairan itu. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan sejak dini harus mempunyai strategi nasional untuk mengantisipasi eskalasi konflik di sana.
Dari aspek militer, TNI Angkatan Laut belum terlambat untuk mengantisipasi dinamika di Laut Cina Selatan, baik dalam bidang operasi, maupun perencanaan. Dalam bidang operasi perlu disusun strategi TNI Angkatan Laut guna menghadapi konflik di Laut Cina Selatan dan strategi itu merupakan substrategi dari strategi TNI secara keseluruhan, alangkah baiknya bila skenario konflik di Laut Cina Selatan diantisipasi sedemikian rupa dalam MEF karena magnitude di laut ini dipastikan lebih besar daripada di Laut Sulawesi.
Penulis :Poniam
(Dosen IAIS Sambas).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H