Mohon tunggu...
Bayu Sapta Hari
Bayu Sapta Hari Mohon Tunggu... Editor -

Editor | suka gowes | penyuka kopi | www.catatanmasbay.wordpress.com | twitter: @bysph

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pekerjaan Tetap Saya Adalah Tetap Mencari Pekerjaan

9 Agustus 2010   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“mah, besok papa mau ijin ga masuk kantor. Ada panggilan kerja.”

Itulah bunyi sms yang masuk ke inbox massage di hape Muthy. tidak salah lagi, sms itu dikirimkan oleh suaminya, Robi. Tidak ada rasa senang atau gembira di wajah Muthy. hanya ada sedikit pertanyaan yang berkecamuk di benak Muthy. semua pertanyaan yang akan diberondongkan ke hadapan Robi, saat Robi tiba di rumah.

“apa? Dapat panggilan lagi?” seru Muthy dalam hati seolah menjerit dan berpikir panjang sambil geleng-geleng kepala. “mau apa lagi sih nih suamiku …”

***

Entah untuk yang keberapa puluh kali, Robi mendapatkan panggilan untuk interview atau tes kerja. Dari perusahaan atau lembaga internasional yang ternama semacam UNDP sampai perusahaan yang kurang terkenal, yang sampai-sampai Robi terkejut dan bergumam, “emang pernah mengirim aplikasi ke perusahaan tersebut?”, pernah Robi satronin untuk melakukan tes.

Emang sih ga semua panggilan dipenuhi oleh Robi. seperti saat ada panggilan dari salah satu lembaga pendidikan yang dikelola oleh lembaga donor ternama, sampoerna foundation. Robi memang pernah melayangkan surat lamaran untuk menjadi staf pengajar di sekolah tersebut, namun memang sekolah itu terletak di luar kota dan bahkan di luar pulau. Robi memang sengaja mengirim aplikasi walaupun belum tentu berminat besar terhadap lowongan tersebut.

Dan, saat panggilan dari sekolah itu datang, Robi dengan halus menolak dengan alasan sedang dikejar deadline di kantornya. Meski demikian, Robi cukup puas dan dalam hati berkata, “berarti kualifikasi gw ngga begitu jelek lah, dapat panggilan dari sekolah unggulan.” Robi hanya bisa tersenyum dan bangga atas panggilan tersebut … (lho?!)

Selain memang sengaja tidak memenuhi panggilan, Robi juga pernah secara tidak sengaja gagal memenuhi panggilan tes. Sebuah kesialan kadang datang secara tidak terduga.

Seperti pada suatu saat, Robi yang mendapat panggilan tes di sebuah perusahaan yang berkantor di sebuah gedung bertingkat secara tidak sengaja tidak membawa kartu identitas apapun saat berangkat memenuhi panggilan itu. sialnya, salah satu syarat untuk masuk ke dalam gedung adalah dengan menyerahkan kartu identitas untuk ditukarkan dengan tanda pengenal sebagai tamu. Robi yang tidak membawa kartu identitas apa pun tidak diperkenankan memasuki gedung meski Robi sedikit memaksa dan dengan wajah sedikit memelas berusaha membujuk security gedung itu. (kebayang ga sih wajah Robi yang polos itu memelas … tambah culun aja keliatannya kali ya!).

Dan bodohnya lagi, Robi yang tidak tau harus berbuat apa, malah berusaha meminjam ktp dari seorang tukang ojek yang sedang mangkal di depan gedung perkantoran itu. keruan saja permintaan Robi ditolak mentah-mentah oleh tukang ojek itu. meski Robi mencoba memberi iming-iming imbalan berupa uang, tukang ojek itu tetap tidak bersedia membantu Robi. “Ya iyalah … kalo nanti ktpnya disalahgunakan kan repot,” kata-kata ini bisa jadi yang terlintas di benak tukang ojek itu menanggapi permohonan Robi yang aneh.

Seolah tidak ingin menyerah, Robi pun dengan kebodohan yang sama mencoba lagi meminjam ktp kepada seorang petugas keamanan dari gedung sebelah. Sebuah permintaan yang tidak akan pernah akan dipenuhi oleh petugas keamanan itu. (kalo dua kali berbuat kebodohan berarti kebangetan ya bodohnya Robi ini …) maklumlah, orang sedang panik, apapun akan coba dilakukan.

Robi terpaksa harus memendam harapan dan keinginannya untuk memenuhi panggilan tes di perusahaan itu. Robi hanya bisa bergumam sambil menyesali kebodohan dan kekhilafannya, “aduh, cuma gara-gara ga bawa ktp, gw harus mengubur impian gw … Aarrrghhh!!

***

Meski memiliki catatan akademik yang cukup baik dan pengalaman yang lumayan banyak, Robi sejauh ini memang belum mendapatkan pekerjaan yang baik. Pekerjaan yang menjadi idamannya. Pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan dan masa depan keluarganya.

Sejumlah catatan prestasi akademik dan penghargaan yang pernah diperoleh oleh Robi seakan tidak cukup untuk menopang karir Robi. Catatan ini juga seolah kurang mendapat perhatian yang serius dari perusahaan yang dilamar oleh Robi. Alhasil, Robi seolah hanya bisa membanggakan catatan akademiknya tanpa ada perusahaan yang melirik dan tertarik dengan hal itu. Robi sepertinya harus menerima kenyataan bahwa “terkadang yang dibutuhkan adalah orang yang cocok dan sesuai, bukan orang yang terbaik.”

Pekerjaan yang digeluti oleh Robi saat ini pun hanya dijalani oleh Robi dengan setengah hati. Ada perasaan tidak puas dan ingin menjadi lebih baik dalam hati Robi. Robi merasa tidak bisa mengeluarkan segenap kemampuan dan minatnya dalam pekerjaan yang sedang dijalaninya. Kira-kira itulah latar belakang Robi yang sepertinya tidak pernah bosan mengirim lamaran kerja. Dan seperti sebagaimana biasa, lamaran kerja pun selalu dikirimkannya setiap ada lowongan kerja yang sesuai dengan minatnya.

Robi sendiri tidak merasa risih dan secara spontan akan mengatakan, ”pekerjaan tetap saya sebenarnya adalah tetap mencari pekerjaan”, saat ada yang menanyakan profesi Robi saat ini. meski terkesan sekedar main-main, dalam hati Robi membenarkan kata-kata itu. Muthy dan orang-orang yang mendengar kata-kata Robi itu hanya bisa tersenyum kecut dan sedikit prihatin dalam hati mereka sambil terus memberi semangat kepada Robi.

Ayo Robi … jangan pernah menyerah!!!

***

Robi sendiri selalu merasa gembira saat menerima panggilan tes atau interview. Harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik selalu menggantung dalam pikiran Robi. Selanjutnya, dengan perasaan yang berbunga-bunga dan semangat 45, Robi pun akan datang memenuhi setiap panggilan kerja. Namun, perasaan riang dan semangat itu seketika lenyap saat Robi sampai di rumah.

Selalu saja kata-kata, “kayaknya belum rejekinya, mah” atau “mungkin bukan ini yang terbaik dan semoga ada kesempatan lainnya”, yang terucap saat Muthy bertanya, “gimana hasil interviewnya, pah?” ya, sejauh ini dari banyak tes atau wawancara yang dilakukan oleh Robi, belum ada yang tertarik dan menerima Robi untuk bekerja di perusahaan mereka.

Muthy pun hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Robi itu. jawaban hiburan untuk menutupi kekecewaan Robi yang selalu saja belum berhasil mendapatkan pekerjaan yang diidam-idamkan. Muthy sendiri hanya bisa prihatin dan bertanya-tanya, “kenapa ya pah, setiap kali tes atau wawancara belum ada yang berhasil?” sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Robi.

Hanya sebuah jawaban klise yang tidak memuaskan dan terkesan menghibur diri saja yang bisa Robi sampaikan, “yah .. belum beruntung aja kali mah.”

“belum beruntung kok terus-terusan gini sih!” seru Muthy dalam hati setiap menanggapi kata-kata Robi sambil tetap bersabar dan berharap satu saat kesempatan baik itu akan datang.

Robi pun selalu harus berpikir cepat setiap ada panggilan tes, sebuah alasan perlu dibuat untuk meminta ijin tidak masuk kantor. Berbagai macam alasan akan diajukan oleh Robi untuk bisa ijin dan memenuhi panggilan tes. Jatah cuti Robi yang sudah kurang, harus rela terpakai untuk digunakan mengikuti panggilan tes.

“setiap risiko perlu diambil untuk sebuah peluang,” demikian kira-kira pendapat Robi untuk rela menggunakan jatah cuti dan ijinnya dalam rangka memenuhi panggilan tes.

***

“mau tes kemana lagi sih pah? Ngga bosen apa tas tes tas tes terus? Mending kalo bisa lulus!?” berondongan pertanyaan dari Muthy bagaikan air bah menghujani Robi malam itu. pertanyaan yang boleh jadi sebagai tanggapan atas sms yang dikirimkan Robi siang tadi.

‘yang ini kelihatannya keren mah,” jawab Robi dengan yakin terlihat dari ekspresi wajahnya yang optimis dan berbinar-binar.

“pengalaman kerja papah sesuai dengan kualifikasi yang mereka butuhkan,” kata Robi lagi dan kembali melanjutkan, “semoga aja kali ini rejeki papah, mah!”

“kemarin-kemarin kamu juga mengatakan itu. tapi mana buktinya? Tetep aja ngga ada hasilnya ..” ujar Muthy seolah masih belum yakin dan mencoba mengingatkan Robi bahwa sebelumnya pernah mengalami hal yang sama.

“tapi kan yang ini laen, mah. Kalo ngga dicoba, mana bisa tahu kita berhasil atau ngga, ya kan?” Robi berusaha meyakinkan Muthy walaupun dalam hati kecilnya ada rasa ragu dan merasa bersalah kepada istrinya ini.

“ya udah deh … semoga aja kali ini benar,” sahut Muthy yang berusaha sabar dan pasrah dengan keputusan suaminya. Harapan besar mengemuka dalam hatinya.

***

Robi melangkahkan kakinya dengan cepat dan mantap pagi itu. pakaian yang dikenakannya pun terlihat sangat rapi dan berbeda dengan yang biasa dipakainya sehari-hari. Setelan kemeja polos berlengan panjang berwarna cerah dan celana panjang warna gelap menghiasi penampilannya. “saya harus tampil rapi dan meyakinkan,” tekad Robi dalam hatinya berkenaan dengan pakaian yang dikenakannya. sebuah harapan besar untuk masa depan yang lebih baik terbayang di pelupuk matanya.

Dengan yakin Robi menyetop angkutan kota yang sesuai dengan arah yang ditujunya. Saat di dalam angkot itu, Robi baru menyadari sesuatu. Robi pun segera membuka tasnya dan memeriksa sesuatu. Wajahnya yang ceria pun berubah murung, kartu identitasnya kembali ketinggalan dan lupa terbawa. Kekhawatiran itu kembali muncul.

“astagfirullah … bodohnya gw,” hanya kata-kata itu yang bisa terucap dalam hati Robi. Bayangan dan harapan yang indah yang baru saja muncul mendadak hilang. Berganti dengan penyesalan dan kekecewaan.

Robi sadar tanpa kartu identitas, tidak mungkin dia bisa masuk ke gedung kantor tempat dirinya akan tes dan interview. Robi hanya bisa menyesali keteledorannya ini. yang lebih mengecewakan lagi, ini untuk kesekian kalinya yang dialami Robi. Seolah Robi tidak belajar dari pengalaman sebelumnya.

Dengan waktu yang mepet tidak mungkin buat Robi balik ke rumah dan kembali lagi ke tempat tes. Sebuah peluang hilang begitu saja. Robi tampaknya, untuk kesekian kalinya, harus mengubur impiannya yang sudah lama terpendam. Dan, terlebih lagi harapan Muthy yang kembali tidak bisa dipenuhinya.

Terbayang kembali wajah Muthy, entah alasan apalagi yang akan disampaikan kepadanya atas berita buruk ini.

Hanya kata-kata dan penyesalan yang bisa Robi sampaikan, “maafkan aku Muthy, belum bisa memenuhi harapanmu.”

Robi hanya bisa bergumam, “sepertinya gw masih harus menjalani profesi ini: pekerjaan tetap saya adalah tetap mencari pekerjaan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun