Mohon tunggu...
Bayu Sapta Hari
Bayu Sapta Hari Mohon Tunggu... Editor -

Editor | suka gowes | penyuka kopi | www.catatanmasbay.wordpress.com | twitter: @bysph

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bimbingan Belajar dan Bisnis Pendidikan

9 November 2009   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 3769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Salah satu tolok ukur keberhasilan suatu bimbingan belajar adalah jumlah siswa yang berhasil lulus ke perguruan tinggi negeri. Namun, hasil yang telah dicapai ini masih menyisakan pertanyaan. Seberapa besar peran bimbel membantu siswa lulus dalam SPMB. Ini bisa dilihat dari jumlah siswa  yang telah ikut mulai dari program reguler yang lulus dibanding siswa yang hanya ikut di program intensif.

Menjadikan banyaknya siswa yang lolos ke PTN sebagai tolok ukur keberhasilan suatu bimbingan belajar adalah sesuatu masih perlu dipertanyakan. Bimbingan belajar tidak sepenuhnya berhak mengklaim sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelulusan siswa ke PTN.

Hal ini tampak dari kehadiran siswa di kelas bimbingan belajar yang tidak menentu. Selain itu perlu dilihat juga apakah mereka yang lulus merupakan siswa yang ikut semenjak program regular atau hanya ikut di program intensif saja.

Kalau tolok ukur keberhasilan dilihat dari banyaknya siswa yang lolos ke PTN saja mengapa bimbingan belajar tidak fokus dengan menyelenggarakan program persiapan masuk PTN (program intensif) saja sehingga lebih kelihatan hasilnya. Jadi penyelenggara bimbingan belajar tidak dapat menggunakan keberhasilan siswa masuk ke PTN sebagai ukuran efektivitas belajar di bimbingan belajar tersebut.

Dalam hal bimbel yang berlatar belakang ideologi tidak dapat dipungkir bahwa faktor ideologi menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bimbel tersebut. Jaringan yang terbangun melalui rohis sangat penting khususnya di masa awal berdirinya bimbel tersebut untuk memperkuat posisinya.

Namun, pada akhirnya kekuatan jaringan itu tidak cukup memadai untuk menopang bimbel tanpa adanya profesionalisme dan pembinaan sumber daya manusia yang kuat di bimbel. Selain itu, kekuatan jaringan justru dapat menjadi bumerang buat bimbel karena bimbel tidak dapat melihat secara riil posisi bimbel yang sebenarnya di mata konsumen dalam hal ini siswa.

Konsumen yang terbentuk melalui jaringan tidak dapat menilai secara objektif terhadap bimbel. Jadi, apakah bimbel tersebut memang benar-benar bimbingan belajar yang layak diikuti (dan perlu) masih menjadi pertanyaan besar.

Merupakan suatu hal yang menggembirakan bila melihat perkembangan bimbel yang amat pesat dan menjelma menjadi bisnis yang berkembang di Indonesia. Namun, pencapaian ini akan menjadi sia-sia apabila tidak disertai dengan evaluasi dan cara pandang yang baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun