Diskusi akademis merupakan ajang pengembangan diri, bertukar ide, pengetahuan, pengalaman, ilmu, dan sebagainya, terutama bila diisi dengan pertanyaan yang kontekstual dan reflektif, elaboratif. Pertanyaan sulit rumit menjadi the main trigger yang mendorong kita untuk berpikir lebih radikal dan mendalam.
Pada simposium, karakter seseorang juga dapat diuji melalui kemampuannya merespons atau mengajukan pertanyaan. Namun, ketika diskusi terlalu aman dan tanpa oposisi, menjadikan perkembangan pemikiran sulit dicapai. Justru pertanyaan sulit yang biasanya mampu menstimulasi memperluas wawasan, cakrawala kita. Mendorong kita kembali bertanya-tanya (refleksi) sampai manakah kita. Bahkan sebagian kelompok yang presentasi tidak mampu menjawab, dan memilih pertanyaan settingan. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar memahami materi.
Fenomena meresahkan terjadi ketika pertanyaan dan jawaban sudah disusun terlebih dahulu (pertanyaan settingan), hanya untuk mengelabui dosen. Ironisnya, banyak juga presentasi yang dilakukan asal-asalan. Materi dibacakan penuh, script hasil copy-paste, dan saat diskusi justru takut menghadapi pertanyaan. Padahal, tanya-jawab itu seharusnya menjadi makanan sehat sehari-hari mahasiswa. Jangan takut ditanya, apalagi jika pertanyaannya bersifat kritis. Lebih baik menghadapi pertanyaan ini yang memacu pemikiran daripada sekadar ditanya definisi dan pengertian yang sudah jelas-jelas ada di slide presentasi.
Sangat disayangkan jika waktu diskusi dihabiskan untuk hal-hal yang sepele dan dangkal, tanpa discourse mendalam (merasa jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan basic yang bahkan hanya memerlukan telaah materi). This is serious. It's a waste of time. Apalagi yang dipilih temen di sirkelnya. Atau oknum yang sudah membuat list pertanyaan palsu. Padahal ada yang tulus mau nanya bukan karena nilai belaka. Tapi malah pertanyaan setinggan yang dipilih. Ini kan pembebalan dan diskriminatif. Mengingat kelas adalah ruang bebas yang bertumpu pada argumentasi. tidak ada yang bisa menghukummu; "Cogitationis poenam nemo patitur." Adagium ini mengingatkan bahwa tiada seorang pun yang dapat dihukum atas apa yang dipikirkannya.
Adanya setingan-setingan ini selain menjadikan diskusi hanya sekadar doktrin dan formalitas (hanya terkesan omon-omon) menjadi kekeringan dan kedangkalan intelektual.
Ada berbagai typical orang yang mengajukan pertanyaan di kelas. Di antaranya:
- Benar-benar penasaran: Bertanya karena ingin tahu lebih jauh, ingin memperdalam materi.
- Ingin menguji: Bertanya untuk menguji pemahaman orang lain atau presenter.
- Nanya > Lupakan > Dapat Nilai: Mengajukan pertanyaan hanya untuk tambahan nilai tanpa peduli isinya atau kasarnya hanya sekedar bunyi.
- Â "Menurut saya": Bertanya karena ingin menyampaikan opininya sendiri dari yang dia tahu.
- Caper sama dosen/mahasiswa: Bertanya untuk mencari perhatian (biasannya yang sudah jelas ditanyaakan lagi).
- Ngetes (padahal dia sudah tahu jawabannya): Hanya ingin menjatuhkan (ada rasa keasikan didalam perbuatan itu).
- Biar seakan paling ambis: Bertanya supaya terlihat lebih serius dan ambisius (bolehlah).
- Penasaran karena benar-benar belum tahu: Ini adalah jenis pertanyaan yang paling jujur autentik sama seperti kurang lebih mirip dengan no 1, 4 tapi pemalu.
- Pertanyaan Normatif; Bersifat umum atau terlalu abstrak, kerap mengarah pada jawaban yang normatif atau tidak spesifik (pertanyaan/jawabannya sifatnya aman).
Tipe ketiga yang paling umum dan low effort, terutama jika dosen memberikan insentif nilai untuk pertanyaan. Padahal, jika pertanyaannya berkualitas, itu dapat memicu diskusi yang lebih menarik dan meaningfull. Namun itu tidak akan terjadi karena pertanyaannya basic dan bahkan dapat dicari di Google atau AI jawabanya. Itulah keadaan saat ini. Pertanyaan dicari di HP, jawaban juga dari HP. Akhirnya nihil dialektika/sanggahan, ujungnya diakhiri dengan "Baik terimakasih atas jawabannya" (jawaban yang sudah tak kirim tadi) tamat sebelum klimaks. Diakhiri tepuk tangan dan pulang. Sia-sia.
"Sialnya, ngga ber-sirkel + banyak nanya + langsung dikucilkan = begitulah kelas. Udah kayak gurun, susah banget bikin discussion yang bener-bener hidup"
Jika misalnya kamu sebagai penanya, dan pertanyaannya tampaknya sulit dijawab, sebaiknya sebagai presenter, pertanyaan tersebut dilempar ke forum atau dosen. Misalnya, kamu bisa mengatakan, "Menurut forum dan juga Bapak/Ibu dosen, bagaimana tanggapan terkait...?" (open for discussion together)
Mengajukan pertanyaan adalah tanda bahwa kita menghormati presenter dan memperhatikan materi yang disampaikan. Sebagai presenter, kita seharusnya bersyukur jika ada yang bertanya, karena ini menunjukkan bahwa presentasi kita diperhatikan dengan serius (apa yang kalian hidangkan itu dinikmati). "bertanya saat presentasi berarti menghargai"