Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul merupakan hak fundamental yang dijamin oleh konstitusi. Hak-hak ini adalah pilar penting dalam negara demokratis, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk menyampaikan gagasan tanpa rasa takut atau tekanan. Namun, kebebasan ini tidak bersifat absolut. Dalam pelaksanaannya, kebebasan harus memperhatikan keseimbangan dengan hak orang lain, keamanan nasional, dan ketertiban umum. Demokrasi yang sehat tidak hanya menghargai kebebasan individu tetapi juga memastikan bahwa kebebasan tersebut berjalan selaras dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Landasan Hukum yang Mengatur Pembatasan yang Sah
Pembatasan kebebasan berekspresi memiliki landasan hukum yang kuat baik dalam hukum nasional maupun internasional. Di Indonesia, Pasal 28J UUD 1945 menggarisbawahi bahwa pelaksanaan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk melindungi hak orang lain serta menjaga moralitas dan ketertiban umum. Hal serupa juga ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kedua instrumen tersebut memberikan pedoman bahwa kebebasan dapat dibatasi demi melindungi hak orang lain atau menjaga keamanan nasional dan moralitas publik.
Penerapan Pembatasan dalam Praktik
Dalam kenyataannya, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi ada yang diberlakukan untuk melindungi ketertiban umum dan keamanan negara. Misalnya, penyebaran ujaran kebencian, propaganda terorisme, atau seruan kekerasan menjadi ancaman nyata yang perlu dikendalikan melalui regulasi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia menjadi contoh bagaimana hukum digunakan untuk mengatur perilaku di ruang digital, meskipun penerapannya masih sering menuai kontroversi.
Selain itu, pembatasan juga diberlakukan atas dasar moralitas publik. Contohnya, pemerintah dapat melarang penyebaran konten pornografi yang dianggap merusak nilai-nilai moral masyarakat. Pada masa pandemi COVID-19, pembatasan kebebasan berkumpul diterapkan untuk melindungi kesehatan publik, seperti pelarangan demonstrasi besar-besaran yang melibatkan kerumunan.
Tantangan dalam Menegakkan Keseimbangan
Salah satu tantangan terbesar dalam mengatur kebebasan berekspresi adalah memastikan bahwa pembatasan yang diberlakukan tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah. Pembatasan harus proporsional, memiliki dasar hukum yang jelas, dan diterapkan secara adil. Misalnya, kritik terhadap kebijakan pemerintah seharusnya dipandang sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat, bukan dianggap sebagai ancaman.
Namun, di sisi lain, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan pendapat dengan cara yang etis dan tidak melanggar hukum. Verifikasi informasi sebelum menyebarkannya, terutama di media sosial, menjadi langkah penting untuk mencegah penyebaran hoaks atau fitnah yang merugikan.
Peran Pemerintah dalam Menjaga Kebebasan
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan pembatasan kebebasan tidak bersifat diskriminatif atau represif. Kebijakan yang dirancang harus inklusif dan transparan, sehingga masyarakat tetap merasa bahwa kebebasan mereka dihargai. Pada saat yang sama, upaya menjaga keamanan nasional dan ketertiban umum harus dilakukan tanpa menekan kebebasan individu secara berlebihan.
Menyeimbangkan Kebebasan dan Tanggung Jawab
Pada akhirnya, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul adalah hak yang harus dirayakan dalam sebuah demokrasi. Namun, hak ini harus dijalankan dengan tanggung jawab. Menghormati hak orang lain, menjaga moralitas publik, dan memastikan bahwa kebebasan tidak melanggar hukum adalah bagian penting dari pelaksanaan hak tersebut. Demokrasi yang matang membutuhkan kebebasan berekspresi sebagai pondasi untuk menciptakan dialog yang konstruktif, mendukung inovasi, dan menyelesaikan permasalahan masyarakat secara kolektif.
Referensi
Pemerintah Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. (1948). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Diakses dari https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Perserikatan Bangsa-Bangsa. (1966). International Covenant on Civil and Political Rights. Diakses dari https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H