Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh partai Gelora dan partai Buruh memberikan implikasi yang cukup signifikan dalam konfigurasi politik dan hukum di Indonesia, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Dalam putusan ini, MK memutuskan untuk melakukan revisi terhadap ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Reformulasi Ambang Batas Pencalonan
MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi harus sesuai dengan ketentuan sebelumnya yang mengharuskan partai politik memperoleh 25% suara atau menguasai 20% kursi di DPRD. Kini, ambang batas tersebut disetarakan dengan jalur independen/perseorangan, memungkinkan partai politik mencalonkan kepala daerah meskipun tanpa representasi di DPRD. Langkah ini mencerminkan prinsip persamaan kedudukan antara calon yang diusung partai politik dan calon independen, sekaligus memperluas ruang partisipasi politik di tingkat lokal dan mengakui suara raykat yang tidak dapat kursi sebagai hak demokrasi. Â Namun, implikasi dari perubahan ini terhadap stabilitas sistem kepartaian dan dinamika politik perlu dievaluasi lebih lanjut.
Inkonsistensi dan Implikasi Hukum
Dalam putusannya, MK juga menetapkan Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada sebagai inkonstitusional, mengindikasikan bahwa ketentuan tersebut tidak sejalan dengan amanat UUD 1945. Konsekuensi dari putusan ini adalah perubahan dalam konfigurasi pencalonan di tingkat lokal, di mana partai politik kini tidak lagi memerlukan basis dukungan yang kuat di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah. Kondisi ini berpotensi memperkuat peran partai politik minor yang sebelumnya terhambat oleh ketatnya persyaratan ambang batas. Namun, pertanyaan muncul mengenai bagaimana dinamika politik lokal akan berkembang di bawah struktur baru ini.
Penyesuaian Threshold Berdasarkan DPT
MK juga memperkenalkan syarat baru bagi pengusungan calon gubernur dan calon wakil gubernur, yang disesuaikan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di suatu provinsi. Langkah ini tampaknya dirancang untuk mencapai keseimbangan antara representasi politik dengan keterwakilan suara, tetapi sekaligus menambah kompleksitas dalam proses pencalonan di tingkat provinsi. Hal ini memerlukan analisis lebih mendalam mengenai dampaknya terhadap distribusi kekuasaan dan dinamika politik daerah.
Penegasan Usia Minimal bagi Calon Kepala Daerah
Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang mengatur usia minimal calon kepala daerah bertujuan memberikan kepastian hukum terkait kriteria usia yang dianggap penting dalam memastikan kualitas kepemimpinan daerah. MK dalam hal ini menegaskan bahwa ketentuan usia tersebut harus diinterpretasikan sesuai dengan konstitusi, dengan implikasi bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, penetapan usia minimal ini juga dapat diperdebatkan dalam konteks apakah kriteria ini benar-benar mencerminkan kualitas kepemimpinan yang diharapkan.
Prinsip Konstitusionalitas dan Hierarki Hukum
Dalam perspektif hukum tata negara, MK berperan sebagai penjaga utama konstitusionalitas (core of law), memastikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan selaras dengan UUD 1945. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat mencerminkan prinsip lex superior derogat legi inferiori, di mana aturan yang lebih tinggi (konstitusi) mengesampingkan aturan yang lebih rendah. Sebaliknya, MA berperan sebagai core of justice, memfokuskan pada penerapan keadilan dalam kerangka hukum positif. Perbedaan fungsi ini menegaskan pentingnya hierarki hukum dalam sistem hukum Indonesia, di mana putusan MK memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam hal pengujian undang-undang.
Konklusi Situasi Politik Hukum
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 membawa perubahan signifikan dalam konteks politik dan hukum di Indonesia, khususnya dalam mekanisme pencalonan kepala daerah. Revisi terhadap ambang batas pencalonan dan penegasan usia minimal bagi calon kepala daerah menunjukkan upaya MK dalam memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi konstitusi. Putusan ini menegaskan pentingnya supremasi hukum dan kewajiban semua lembaga negara, termasuk Presiden dan DPR-RI, untuk menghormati keputusan MK demi menjaga supremasi konstitusi. Menekankan bahwa putusan MK tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pengawasan hukum, tetapi juga sebagai instrumen untuk memastikan bahwa dinamika politik di Indonesia tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI