Tanah adat atau tanah ulayat di Bali, yang lebih dikenal sebagai tanah desa, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis:
1. Tanah Druwe (Druwe Desa);
- Â Â Dimiliki atau dikuasai oleh desa pakraman.
- Â Â Contohnya: Tanah Pasar, Tanah Lapang, Tanah Kuburan, Tanah Bukti.
2. Tanah Pelaba Pura;
- Â Â Merupakan tanah yang dulunya milik desa dan digunakan khusus untuk keperluan Pura.
- Â Â Diperuntukkan bagi bangunan Pura dan upacara serta perbaikan Pura.
3. Tanah Pekarangan Desa;
- Â Â Dikuasai oleh desa pakraman dan diberikan kepada krama untuk tempat tinggal.
- Â Â Ayahan (tempat tinggal) melekat pada tanah tersebut.
4. Tanah Ayahan;
- Â Â Dikuasai oleh desa pakraman, namun penggarapannya diserahkan kepada krama desa setempat.
- Â Â Hak dinikmati dengan perjanjian tertentu, termasuk kewajiban memberikan ayahan.
Pemanfaatan tanah adat ini memberikan tiga bentuk fungsi, yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan keagamaan. Fungsi ekonomi melibatkan penggunaan tanah untuk kegiatan ekonomi desa. Fungsi sosial terkait dengan pemberian tanah kepada warga desa untuk tempat tinggal dan pemukiman. Fungsi keagamaan berkaitan dengan penggunaan tanah untuk keperluan Pura dan upacara keagamaan.
Reforma agraria muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial yang timbul akibat penguasaan tanah oleh kelompok tertentu. Ketidaksetaraan dalam kepemilikan tanah menjadi akar konflik yang perlu diatasi melalui langkah-langkah reforma agraria. Tahapan awal reforma agraria, seperti pendataan pertanahan dan pengaturan ulang pemanfaatan tanah, diakui sebagai kunci untuk menciptakan struktur agraria yang lebih merata, konteks di Bali memberikan gambaran konkret tentang bagaimana motif agrarian, yang mencakup elemen eskatologis, degradasi budaya, dan pertimbangan moral, memegang peranan penting dalam dinamika konflik agraria.Â
Eskatologis mengacu pada pandangan mengenai akhir zaman atau tujuan akhir, yang dapat meresap dalam konflik agraria melalui persepsi mengenai dampak jangka panjang dari perubahan dalam kepemilikan tanah. Degradasi budaya berkaitan dengan penurunan nilai-nilai tradisional dan identitas masyarakat akibat konflik agraria, sementara pertimbangan moral mencakup evaluasi terhadap keadilan dan etika dalam pengelolaan tanah. Dengan demikian, reforma agraria bukan hanya sekadar restrukturisasi kepemilikan tanah, tetapi juga usaha untuk mengatasi ketidakadilan sosial, memperbaiki ketidaksetaraan, dan menjaga harmoni dalam masyarakat. Tahapan awal yang melibatkan pendataan dan pengaturan ulang bertujuan menciptakan landasan yang lebih adil, di mana setiap anggota masyarakat memiliki akses dan hak yang setara terhadap sumber daya tanah.
Adanya Konflik agraria di Batur, Bali, melibatkan perselisihan antara petani lokal yang mengklaim hak atas lahan turun temurun dengan PT Tanaya Pesona Batur (PT. TPB), perusahaan yang memiliki izin membangun taman rekreasi di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Batur Bukit Payang. Konflik ini berawal pada 2014 ketika Kementerian Kehutanan menetapkan kawasan hutan tanpa melibatkan warga setempat. Pada Juli 2022, PT. TPB mendapat izin usaha di lahan tersebut, memicu protes warga yang dilaporkan ke polisi.Â
Konflik terus berlanjut, dengan tuntutan dari Lembaga Bantuan Hukum Bali untuk menghentikan perampasan ruang hidup dan kriminalisasi petani serta menghormati hak-hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konflik ini mencerminkan ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan yang sering menjadi pemicu konflik agraria di Indonesia.
Penyelesaian konflik agraria di Indonesia, khususnya melibatkan Pulau Bali sebagai studi kasus, menawarkan pelajaran berharga dalam upaya mencapai keseimbangan antara pembangunan dan keadilan bagi masyarakat adat. Konflik ini melibatkan klaim tanah adat yang dianggap tidak produktif, dan penyelesaiannya memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan berbagai aspek. Aspek hukum dan kebijakan juga menjadi elemen sentral dalam mencapai penyelesaian konflik agraria. Pengakuan resmi terhadap hak tanah adat dan penyelarasan dengan undang-undang nasional menjadi langkah krusial untuk memastikan dasar hukum yang kuat. Dalam konteks Bali, di mana konflik terutama terkait dengan pembangunan pariwisata dan proyek infrastruktur, perlu dilibatkan pemahaman dan dukungan yang kuat dari pihak eksternal, termasuk pengembang dan perusahaan, untuk membentuk kemitraan yang adil dan memberikan manfaat ekonomi yang merata.
Dalam mengatasi konflik agraria di Bali, ada upaya untuk menerapkan pendekatan inklusif dan berkeadilan. Beberapa langkah yang diambil mencakup:
1. Dialog dan Konsultasi;
- Â Â Pemerintah setempat dan pemangku kepentingan terlibat dalam dialog terbuka dengan masyarakat adat.
- Â Â Konsultasi diadakan untuk mendengarkan aspirasi dan kebutuhan mereka terkait pengembangan tanah.
2. Pemberdayaan Masyarakat;
- Â Â Program pemberdayaan masyarakat adat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan.
- Â Â Tujuannya adalah meningkatkan pemahaman mereka tentang hak tanah dan cara melibatkan diri dalam proses pembangunan.
3. Pendekatan Hukum dan Kebijakan;
- Â Â Pemerintah berusaha memperkuat hukum dan kebijakan yang melindungi hak tanah masyarakat adat.
- Â Â Ini termasuk pengakuan formal terhadap hak tanah adat dan penyelarasan dengan undang-undang nasional.
4. Kemitraan dengan Pihak Eksternal;
- Â Â Pengembang dan perusahaan diundang untuk berpartisipasi dalam kemitraan yang adil dengan masyarakat adat.
- Â Â Ini mencakup pembagian manfaat ekonomi dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
5. Sosialisasi dan Kesadaran;
- Â Â Program sosialisasi dan kesadaran dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat adat dan masyarakat umum tentang hak tanah, pembangunan berkelanjutan, dan pentingnya inklusi.
Penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) menjadi jaminan bahwa setiap proyek pembangunan yang melibatkan tanah dan sumber daya masyarakat adat mendapat persetujuan mereka. Penting untuk menetapkan hak tanah dan sumber daya secara jelas agar masyarakat adat memiliki dasar hukum yang kuat. Kolaborasi dengan pihak eksternal, seperti perusahaan swasta dan lembaga pemerintah, harus dilakukan dengan memastikan penghormatan terhadap hak dan kepentingan masyarakat adat. Pembangunan berkelanjutan perlu menjadi fokus, mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kebutuhan masyarakat adat. Penguatan hukum dan kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat adat menjadi landasan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan dan keadilan. Dukungan dari pihak eksternal, termasuk organisasi masyarakat sipil, LSM, dan kelompok advokasi, dapat membantu melindungi kepentingan masyarakat adat dan memastikan bahwa proyek pembangunan memberikan manfaat yang seimbang.
Pentingnya sosialisasi dan kesadaran masyarakat tidak dapat diabaikan. Program ini bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan menyeluruh tentang hak tanah, konsep pembangunan berkelanjutan, dan urgensi inklusi. Kesadaran masyarakat adalah pondasi krusial untuk mendukung upaya penyelesaian konflik agraria dan menciptakan lingkungan yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan, walaupun telah diambil langkah-langkah positif, penting untuk diingat bahwa perjalanan ini bukanlah kilometer satu waktu. Penyelesaian konflik agraria dan pembangunan yang berpihak pada masyarakat adat adalah upaya berkelanjutan yang memerlukan komitmen yang kokoh dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Meningkatkan dialog, membangun kepercayaan, dan memastikan perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat adat adalah langkah-langkah kunci dalam mencapai keseimbangan yang berkelanjutan, melalui pembelajaran ini diharapkan bahwa pengalaman ini dapat membantu membuka pintu menuju solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan di seluruh Indonesia. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dialog, kolaborasi, dan keadilan, kita dapat menuju arah yang membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berdaya tahan.