Mohon tunggu...
Renaldi Bayu
Renaldi Bayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - I'm a Student of Accounting at Udayana University.

@malleumiustitiae @refknow (Enjoy Writing, Reading and Dialectics)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Harmoni Asas Tanah: Mencari Solusi Konflik Agraria, Masyarakat Adat dan Pembanguan Berkeadilan

8 Desember 2023   23:37 Diperbarui: 11 Desember 2023   15:21 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia menopang dan menjalani kehidupannya di atas tanah, menjadikan tanah sebagai elemen krusial yang mendukung eksistensi manusia. Hubungan ini mirip dengan hubungan ibu dan anak, menggarisbawahi kepentingan yang mendalam antara manusia dan tanah. Karena tanah memiliki peran sentral, tidak mengherankan jika setiap individu menginginkan memiliki tanah.

Dalam konteks ini, Pemerintah Negara Republik Indonesia telah merumuskan peraturan yang mengatur urusan tanah, yang mencakup Hukum Nasional dan Hukum Adat. Sebelumnya, terdapat dualisme dalam hukum tanah, di mana diberlakukannya hukum tanah barat bersamaan dengan hukum adat tanah. Hukum tanah barat ini berlaku untuk tanah dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, tanah erpacht, tanah opstal, dan sejenisnya. 

Sementara itu, hukum adat tanah diterapkan pada tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah usaha, tanah milik, tanah gogolan, dan sejenisnya. Setelah diundangkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dualisme tersebut dihilangkan, dan diberlakukan hukum tanah nasional (hukum agraria) yang berbasis pada norma adat. Hukum Adat menjadi pedoman dalam konteks hukum nasional, sebuah pengakuan terhadap warisan budaya yang tumbuh dalam kerangka hukum yang lebih bersatu.

Penyelesaian konflik agraria di Indonesia, terutama yang melibatkan penolakan pembangunan dan hak masyarakat adat, merupakan tantangan kompleks yang memerlukan pendekatan holistik dan berkelanjutan. Reforma agraria, sebagai respons terhadap aspirasi pendiri negara bahwa "tanah adalah untuk kemakmuran rakyat," muncul sebagai fondasi untuk menanggulangi konflik ini. Tahapan awal reforma agraria, seperti pendataan pertanahan dan pengaturan ulang pemanfaatan tanah, menjadi kunci untuk menciptakan struktur agraria yang lebih merata.

Pentingnya menjaga kesesuaian antara tanah dan adat mendorong pemikiran bahwa tanah harus mengikuti prinsip agraria. Motif agrarian dalam konflik melibatkan aspek eskatologis, degradasi budaya, dan moral. Pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa rakyat bukanlah objek, melainkan subjek dalam penguasaan tanah. Dalam hal ini, harus muncul kesadaran kritis. 

Fenomena tingginya alih fungsi lahan dan lahan terlantar di Indonesia merupakan dampak dari sistem penguasaan menurut hukum negara yang sangat menjunjung tinggi kepemilikan pribadi (privat) karena dijiwai sistem ekonomi kapitalis. Konsep penguasaan terhadap tanah yang relatif berbeda, yaitu bentuk penguasaan menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia yang terbukti memiliki banyak kesamaan dengan bentuk penguasaan bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, dimana tidak mengenal bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusivitas, larangan untuk memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih dihargainya manusia dan kerja dibandingkan tanah.

lawyersclubs.com
lawyersclubs.com

Maka, kekhawatiran akan sulitnya menarik investasi asing ke Indonesia di tengah persaingan yang tinggi, serta ketakutan akan larinya modal asing, memunculkan sikap pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat atau rakyat. Hal ini terlihat dari tidak adanya kontrol pemerintah pusat dan daerah, atau toleransi mereka, terhadap investor dan perusahaan-perusahaan asing yang menggunakan bendera perusahaan nasional (domestik) dalam menjalankan usahanya, dengan sikap aparat keamanan, dalam hal ini polisi, bahkan dalam beberapa kasus, militer, yang seringkali berpihak pada investor, pengusaha, atau korporasi asing. 

Dengan demikian, negara/pemerintah yang didukung oleh aparat keamanan dalam konflik di lapangan berhadapan dengan penduduk setempat (lokal), merinci solusi, langkah awal yang harus diambil adalah melakukan pendataan pertanahan dan mengatur ulang pemanfaatan tanah. Dengan memastikan struktur agraria yang merata, hak tanah dapat dikembalikan kepada masyarakat secara menyeluruh. 

Di Pulau Bali, banyak klaim tanah adat dianggap tidak produktif, menciptakan situasi khusus yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian konflik. Dalam merangkai solusi-solusi ini, perlu diingat bahwa penyelesaian konflik agraria dan upaya menjaga keadilan bagi masyarakat adat adalah perjalanan yang panjang. Diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mencapai kesuksesan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun