Pertanyaan ini mendorong refleksi mendalam tentang sifat kebahagiaan dan moralitas. Mengikuti pandangan Kant, hanya kehidupan yang bermoral yang layak untuk berbahagia. Dengan kata lain, kebahagiaan yang sejati dan bermakna dapat dicapai melalui tindakan-tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang universal.
Ketika kita membagi kebahagiaan dengan orang lain, kita tidak hanya memenuhi kewajiban moral, tetapi juga menciptakan suatu keadaan di mana kebahagiaan menjadi lebih berkelanjutan dan bermakna. Membagikan kebahagiaan dengan orang lain mencerminkan penghargaan terhadap nilai-nilai moral yang mendasari postulat moralitas.
Jadi, dalam pandangan Kant, kebahagiaan yang sejati terletak dalam kehidupan yang bermoral dan kemampuan untuk berkontribusi pada kebahagiaan bersama, menciptakan summum bonum yang diidamkan dalam filsafat moralitasnya. Dengan mengaitkan kebahagiaan pada tindakan moral yang bersifat universal, Kant membentuk dasar etika deontologisnya. Pendekatan ini menegaskan bahwa kewajiban moral tidak boleh dikompromikan oleh keinginan pribadi atau situasi tertentu.
Mungkinkah Bahagia dengan Filsafat Immanuel Kant?
Pertanyaan ini mengajak kita memahami nilai dan tujuan hidup dari perspektif individu. Bagi mereka yang menghargai kebebasan, tanggung jawab moral, dan martabat manusia, filsafat Kant dapat menjadi panduan yang kuat. Kebahagiaan yang diperoleh melalui tindakan sesuai dengan imperatif kategoris dapat memberikan kepuasan yang mendalam, karena didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang tinggi. Kendatipun, ketika berbicara tentang kebahagiaan yang dipikirkan, yaitu kebahagiaan yang didasarkan pada kepuasan pribadi tanpa mempertimbangkan aspek moralitas, Kant menunjukkan keraguannya. Bagi Kant, kebahagiaan tanpa dasar moral universal dapat menimbulkan konflik dengan nilai-nilai etika yang dipegang teguhnya.
Kehendak Baik, Otonomi, Keutamaan, dan Kebahagiaan
Dalam konsep pandangan Kant, kehendak baik adalah kehendak yang bertindak sesuai dengan kewajiban moral tanpa dipengaruhi oleh keinginan pribadi. Ini dianggap sebagai sumber nilai moralitas tertinggi menurut Kant. Otonomi, kemampuan untuk memberikan hukum moral bagi diri sendiri, menjadi landasan bagi kebebasan moral. Kant percaya bahwa manusia, dengan akal budinya, memiliki kapasitas untuk menentukan dan mengikuti hukum moral tanpa perlu dikendalikan oleh kekuatan eksternal.
Kebahagiaan tidak boleh jadi motivasi untuk memiliki keutamaan, namun bila kita berkeutamaan kita memiliki alasan untuk mengharapkan kebahagiaan. Kebaikan tertinggi adalah moralitas, sementara kebahagiaan adalah elemen keduanya. Asalkan kita berkeutamaan, kita punya alasan yang cukup untuk mengharapkan kebahagiaan.
Bagaimana hubungan ketaatan terhadap kewajiban moral (keutamaan, virtue) dan kebahagiaan? Apakah kalau kita memiliki keutamaan maka kita pasti akan bahagia?
... Tidak ada! Sebab relasi kausal hanya mungkin terjadi melalui hukum alam, dan bukan dalam hukum moral! Keutamaan tidak secara niscaya menghasilkan kebahagiaan!
Kelayakan untuk berbahagia
“Ketaatan kita kepada kewajiban kita adalah satu-satunya syarat universal bagi kelayakan kita untuk berbahagia, dan kelayakan kita untuk berbahagia adalah identik dengan ketaatan terhadap kewajiban”
"Moral bukanlah cara untuk memperoleh kebahagiaan, melainkan bagaimana agar kita menjadi layak untuk bahagia"
Melalui kebohongan kita dapat bahagia, tapi sebenarnya tidak layak berbahagia; kebahagiaan yang dicapai melalui berbohong itu tidak bermartabat. Seseorang disebut "layak atau bermartabat” (würdig) untuk memiliki sesuatu hanya jika ia mengharmoniskan kepemilikan itu dengan kebaikan tertinggi (summum bonum). Walaupun, kebahagiaan ini tidak boleh menjadi motif untuk bertindak moral, sebab hal itu akan jatuh pada heteronomi, sebagaimana etika eudaimonia. Kepuasan itu adalah hasil tidak langsung moralitas. Jika orang bertindak berdasarkan kewajiban dan memperoleh perasaan puas atau bahagia sebagai akibatnya, tidak bisa dikatakan bahwa ia jatuh dalam heteronomi moral.
"Sebuah tindakan yang didasarkan atas kewajiban memiliki nilai moral bukan dalam tujuan yang hendak dicapai, melainkan dalam maksim/prinsip yang menjadi dasar tindakan tersebut"