Dewasa ini, topik mengenai perpindahan ibu kota negara merupakan bahan perbincangan yang hangat dibicarakan. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum rencana tersebut dapat direalisasikan seperti halnya perekonomian, pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan lain sebagainya.
Penuh sesaknya Jakarta juga merupakan salah satu faktor yang menjadi pendorong atas terciptanya rencana pemindahan ibu kota negara tersebut. Didominasi oleh gedung-gedung pencakar langit, lahan untuk ruang terbuka hijau seperti taman kota atau hutan kota pun kian menyempit.
Beberapa negara maju, seperti Singapura dan Inggris, telah menyadari akan pentingnya ruang terbuka hijau yang baik dan layak, sehingga suatu wilayah dapat dihuni dan digunakan untuk beraktivitas dengan nyaman.
Terbukti dengan kota Singapura dan London yang masing-masing memiliki 47% dan 33% ruang terbuka hijau (The World Cities Culture Forum, 2010 dan 2015), berbanding jauh dengan Jakarta yang hanya memiliki 9,98% ruang terbuka hijau (2017). Penghitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dapat menggunakan salah satu dari tiga kriteria, antara lain berdasarkan jumlah penduduk, berdasarkan luas wilayah, dan berdasarkan kebutuhan oksigen.
Jika rencana pemindahan ibu kota negara akan direalisasikan, maka perlu dibangun infrastuktur baru di lokasi ibu kota negara tersebut, termasuk ruang terbuka hijau.
Karena belum ditetapkannya letak ibu kota negara yang baru oleh Pemerintah, dalam artikel ini digunakan asumsi Kota Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota negara baru, karena Kalimantan Tengah merupakan salah satu kandidat ibu kota negara yang memenuhi kriteria Bappenas dan usulan BNPB.
Secara umum, Palangka Raya dapat dilihat sebagai sebuah kota yang memiliki 3 wajah yaitu wajah perkotaan, wajah pedesaan dan wajah hutan. Kota Palangka Raya yang memiliki total luas wilayah sebesar 2.853,52 km2, secara administratif terbagi menjadi lima kecamatan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Rakumpit dengan luas 1.101,95 km2 atau lebih dari sepertiga luas wilayah Palangka Raya. Sedangkan, Kecamatan dengan luas paling kecil adalah kecamatan Pahandut.
Kecamatan Pahandut adalah pusat Kota Palangka Raya dan luasnya tidak lebih dari lima persen dari luas wilayah Palangka Raya secara keseluruhan. Sesuai Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Total proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit sebesar 30% dari luas wilayah kota. Sedangkan untuk ruang terbuka hijau publik paling sedikit sebesar 20% dari luas wilayah kota. Dengan proporsi kebutuhan ruang terbuka hijau publik masing-masing wilayah adalah 20% dari keseluruhan luas wilayahnya, maka kebutuhan untuk Kecamatan Bukit Batu, Jekan Raya, Pahandut, Rakumpit, dan Sabangau masing-masing adalah sebesar 120,632 km2, 77,504 km2, 23,874 km2, 220,390 km2, dan 128,302 km2.
Jumlah penduduk Kota Palangka Raya Tahun 2017 sebanyak 275.667 orang yang terdiri dari 141.179 orang laki-laki dan 134.488 orang perempuan, dan kepadatan penduduk rata-rata 96,6 jiwa/km2. Penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Jekan Raya dengan 52% penduduk tinggal di kecamatan tersebut.
Hal ini membuat Kecamatan Jekan Raya menjadi kecamatan terpadat dimana terdapat 369,90 jiwa/km2. Sebagai ibu kota propinsi, Palangka Raya termasuk kota kecil karena jumlah penduduknya kurang dari setengah juta jiwa.
Kecamatan Pahandut dan Jekan Raya merupakan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Kepadatan kedua kecamatan tersebut masing-masing adalah 808,268 jiwa/km2 dan 369,90 jiwa/km2, jauh di atas rata-rata kepadatan penduduk Palangka Raya secara keseluruhan.
Laju pertumbuhan penduduk di provinsi Kalimantan Tengah tahun 2015-2020 dan tahun 2020-2025 adalah masing-masing sebesar 2,11% per tahun dan 1,82% per tahun (Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, Badan Pusat Statistik 2013). Apabila angka tersebut digunakan sebagai asumsi pertumbuhan penduduk di Palangka Raya, maka didapatkan jumlah total compound growth rate tahun 2018 hingga tahun 2024 sebesar 14,43%. Sehingga, jumlah penduduk asli di Palangka Raya pada tahun 2024 adalah sebanyak 315.444 jiwa.
Dengan asumsi bahwa jumlah ASN beserta keluarganya yang akan dipindahkan ke Palangka Raya pada tahun 2024 sebanyak 1,5 juta jiwa, maka jumlah penduduk Palangka Raya akan menjadi 1.815.444 jiwa.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, suatu wilayah kota dengan jumlah penduduk minimum 480.000 jiwa diharuskan memiliki ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan kota dengan luas minimal 4,0 m2 per penduduk, dalam bentuk taman kota  dengan luas minimal 0,3 m2 per penduduk dan dengan total luas minimal 144.000 m2, serta ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi tertentu dengan luas minimal 12,5 m2 per penduduk.
Perkiraan kebutuhan taman kota, hutan kota, dan ruang terbuka hijau untuk fungsi-fungsi tertentu di Palangka Raya pada tahun 2024 masing-masing sebesar 544.633,2 m2 untuk taman kota, 7.261.776 m2 untuk hutan kota, dan 22.693.050 m2 untuk fungsi tertentu. Total perkiraan kebutuhan ruang terbuka hijau sebesar 30.499.459,2 m2 atau kurang lebih 30,50 km2 .
Sebagian besar wilayah Palangka Raya masih merupakan kawasan hutan yang tersebar hampir di seluruh wilayah Palangkaraya. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, definisi Areal Penggunaan Lainnya (APL) adalah areal bukan kawasan hutan. Total APL di Palangka Raya yaitu sebesar 412,09 km2 atau 14,44%. Jadi kawasan hutan masih mendominasi wilayah Kota Palangka Raya.
Ruang terbuka hijau yang tersedia di Palangka Raya saat ini, apabila dikategorikan menjadi taman kota, hutan kota, dan fungsi tertentu, masing-masing memiliki luas sebesar 146.600 m2, 16.320.000 m2, dan 24.034.000 m2.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa hutan kota dan fungsi tertentu telah memenuhi persyaratan minimum ruang terbuka hijau publik yang dibutuhkan guna menampung 1,8 juta penduduk. Namun, masih terdapat kebutuhan akan taman kota yang sebesar 398.033,2 m2 belum memenuhi standar minimum tersebut.
Berdasarkan data dari Indonesia Environment Center, Taman Kalijodo yang memiliki luas kurang lebih 10.000 m2 dibangun dengan total biaya sekitar Rp20 Miliar, dan selesai dibangun pada Desember 2016. Apabila data tersebut digunakan sebagai acuan perhitungan biaya pembangunan ruang terbuka hijau di Palangka Raya pada tahun 2020 hingga 2024, maka didapatkan asumsi biaya pembangunan rata-rata sebesar Rp 2juta/m2.
Dengan total kebutuhan taman kota di Palangka Raya pada tahun 2024 seluas 544.633,2 m2 dan saat ini hanya tersedia 146.600 m2, terdapat kekurangan sebesar 398.033,2 m2.
Sedangkan untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau untuk fungsi tertentu, sepertinya hanya perlu dilakukan penyesuaian, tidak perlu adanya pembangunan baru. Besaran biaya yang diperlukan untuk membangun taman kota adalah sebesar Rp796.066.400.000 atau hampir setara dengan Rp800 Miliar.
Terdapat 4 sumber dana yang mungkin digunakan Pemerintah sebagai pembiayaan, antara lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan murni swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
Dengan asumsi pemerintah menyiapkan dana untuk pembangunan ruang terbuka hijau di Palangka Raya sebesar 5% dari alokasi rata-rata untuk fungsi perlindungan lingkungan hidup dan perumahan dan fasilitas umum, akan didapatkan angka sebesar Rp2,095 triliun setiap tahunnya.
Sedangkan, total kebutuhan biaya pembangunan ruang terbuka hijau mencapai Rp 800 Miliar. Dengan begitu, pembangunan tersebut dapat didanai dengan satu periode APBN, lebih menguntungkan apabila menggunakan mekanisme KPBU, yang sebagian besar memiliki masa konsesi lebih dari 5 tahun.
Taman Kalijodo yang memerlukan biaya pembangunan Rp 20 Miliar, dibangun dengan menggunakan mekanisme CSR. Apabila seluruh pembangunan ruang terbuka hijau di Palangka Raya menggunakan mekanisme CSR sebagai sumber pembiayaan utama, diperlukan kurang lebih partisipasi dari 40 perusahaan. Hal tersebut tentu bukanlah hal yang mudah.
Oleh karena itu, sebaiknya Pemerintah tidak menjadikannya sebagai sumber utama. Alasan utamanya adalah karena CSR bersifat tidak pasti dan tidak mengikat mengenai aspek lingkungan.
Selain itu, jumlah partisipasi perusahaan yang diperlukan juga termasuk cukup banyak. Dengan begitu, target waktu pemenuhan pembangunan tentu menjadi sulit untuk dipastikan, yang berimplikasi pada lambannya penciptaan atmosfir wilayah yang nyaman dan layak huni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H