Mohon tunggu...
Bayu Nugraha Saputra
Bayu Nugraha Saputra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Disinilah aku menjejak dan melangkah...

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasib Sepetak Sawah

30 September 2013   09:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_291595" align="aligncenter" width="500" caption="(Foto: Bayu Nugraha Saputra)"][/caption]

Hamparan padi tampak berwarna kuning keemasan. Bergoyang ke kiri dan ke kanan, tertiup semilir angin pagi yang segar. Tempat bernaungnya ekosistem lingkungan yang lestari, kala musim hujan menjelang. Areal persawahan, merupakan jalan bagi air untuk menemukan muaranya. Rumah bagi satwa seperti katak, ular, tikus, burung bahkan hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia.

Manusia membutuhkan padi, dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sejatinya, Indonesia ditakdirkan mempunyai anugerah yang luar biasa, dengan keunggulan di bidang pertanian. Namun, dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin besar, lahan-lahan pertanian ini, harus menyerah pada kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan akan rumah.

Dulu, tempat tinggal yang dibangun manusia, sangat sederhana. Selaras dengan alam. Bahan bangunan yang digunakan, tidak menggunakan material yang rumit. Tetapi, tahan terhadap perubahan kondisi alam dan lingkungan. Tidak seperti sekarang. Seperti yang saya amati, di daerah Sukapura Mengger Hilir Bandung. Rumah yang dibangun menggunakan teknologi modern.

Bangunan yang didirikan entah untuk industri atau rumah kost-an ini, mengepung dan mengurung habis lahan produktif pertanian. Tempat dimana kita, menggantungkan kebutuhan pangan sampai akhir menutup mata. Dengan bentuk memanjang, desain rumah yang didirikan berlantai tiga tersebut, diperkirakan dapat dihuni oleh 96 orang untuk setiap gedungnya. Bayangkan, sebuah pembangunan yang mengorbankan kantung-kantung lahan pertanian aktif, untuk dikonversi menjadi sebuah bangunan.

Kita tidak anti terhadap pembangunan. Sebaiknya, pembangunan itu harus memperhitungkan dengan cermat letak dan lokasi yang tidak menganggu areal persawahan yang ditanami petani. Bolehlah kita mengejar kemajuan di berbagai bidang, tapi kenyataannya negara dan bangsa ini memang diberikan karunia Tuhan sebagai negara agraris. Maka, industri yang dikembangkan harus yang mendukung pertumbuhan bidang agraris itu sendiri.

Sebuah bangsa, tidak akan mungkin maju kalau perut rakyatnya lapar. Hanya teriak-teriak harus swasembada di bidang pangan, tanpa adanya proteksi pemerintah terhadap lahan produktif, rasa-rasanya hanya jargon belaka! Mari kita berpikir sederhana. Mungkinkah, sekitar 250 juta penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bisa hidup tanpa lahan pertanian karena tergusur oleh derasnya laju pembangunan? Atau kita hanya mampu mengimpor beras dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang pada waktu bersamaan mereka juga harus menghidupi rakyatnya yang butuh makan? Bagaimana kalau sewaktu-waktu, negara-negara tersebut menolak menjualnya kepada kita? Ternyata nasib sepetak sawah sangat menentukan perjalanan sebuah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun