Dari sudut pandang pembeli, tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan penjual musiman saat Ramadan sangat bermanfaat. Setelah sekian jam berpuasa menahan lapar dan dahaga, kita bisa menemukan aneka hidangan lezat untuk berbuka.
Sebelum berbuka puasa memang ada sebuah fenomena. Gorengan terlihat lebih kriuk dan gurih. Es buah lebih berwarna dan menggoda. Bubur sumsum begitu kental kuah gula merahnya, hingga bisa mengalir tak putus dari sendok saji. Bahkan, sirup dan teh manis ditambah es batu pun sudah membuat sensasi segar di kerongkongan. Apalagi ditambah embun-embun di sekeliling gelasnya. Grrr.
Dalam keadaan berpuasa kadang perut lebih berkuasa daripada logika. Seakan semua makanan itu harus terhidang dan disantap saat berbuka. Padahal, saat azan magrib tiba, minum air sirup saja sudah terasa penuh perut ini. Akhirnya, bisa saja makanan berlimpah itu menjadi terbuang.
Itulah akibat bila kita justru mementingkan hasrat semata. Padahal, bukankah menahan diri merupakan hakikat puasa yang sesungguhnya?
Perilaku belanja tak terkendali itulah yang umumnya menyebabkan pengeluaran di bulan puasa terasa lebih boros. Banyak hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan dibeli juga karena keinginan. Makanan berbuka puasa itu adalah contoh nyatanya.
Sebagai introspeksi, saya mengingat kembali masa-masa berbuka puasa saat di kampus. Minuman dan makanan yang dihidangkan, apapun itu jenisnya dan berapapun jumlahnya ternyata cukup mengenyangkan. Mengapa bila kita memiliki kemampuan untuk membeli, begitu sulit untuk menahan diri.
Penjual memang mengemas barang dagangannya sedemikian rupa. Menyilapkan mata, mempermainkan rasa, dan mengecoh logika. Penjual pakaian contohnya. Beberapa metode menggenjot penjualannya adalah dengan memberi diskon, kesempatan beli 2 gratis 1, atau tawaran beli seharga X dapat voucher senilai Y. Ujung-ujungnya kita terlena dan tertarik untuk terus berbelanja.
Untuk menghindari hal seperti itu, ada beberapa hal yang bisa dipakai. Kontra-strategi. Pertama, pastikan kita sudah jelas dan yakin barang mana saja yang akan dibeli. Jangan ambil keputusan seketika untuk membeli. Karena dalam kondisi seperti itu umumnya sulit untuk membedakan kebutuhan dan keinginan.
Apabila ada barang yang dikira bagus, catat saja dulu. Kemudian pikirkan kebutuhan terkait barang tersebut di tempat lain. Untuk pakaian dan kebutuhan fashion lainnya bisa dipikirkan di rumah, karena sifat barangnya yang bisa tahan lama tetapi modenya cepat berganti.
Kedua, siapkan uang secukupnya. Jangan banwa uang tunai terlalu banyak. Dengan begitu, daya beli kita akan terbatasi oleh ketiadaan uang. Prinsipnya, semakin banyak uang yang dipegang, semakin banyak pula uang yang mungkin dibelanjakan.
Strategi itu efektif saya gunakan selama ini. Jadi, saat ke pusat perbelanjaan dengan niat ingin berjalan-jalan atau melihat-lihat barang dan buku, jangan bawa uang lebih yang mungkin dipakai untuk membeli. Bawa saja senilai ongkos dan uang cadangan untuk beli air mineral.
Ketiga, pahami strategi penjualan. Pelajari betul nilai wajar sebuah barang, terutama untuk barang tahan lama yang akan dimiliki dalam jangka panjang. Jangan terkecoh dengan harga diskon yang terpasang. Jangan-jangan meskipun didiskon barang tersebut masih kemahalan.
Keempat, khusus untuk makanan, hindari beli makanan sekaligus. Nikmati saja dulu sedikit makanan yang sudah ada. Jika belum cukup, baru beli makanan lainnya. Hal itu untuk menghindari penumpukan dan ketersia-siaan.
Kalau saya sendiri punya rumus baku untuk belanja makanan (khusus di warteg). Apa itu? Sederhana, hanya pesan nasi dengan maksimal tiga pilihan sayur/lauk. Dijamin tidak akan kebablasan.
Mau coba?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H