Bulan Ramadan memang penuh berkah. Banyak orang yang mengais pahala, banyak pula yang mengais harta. Yups, entah kenapa di bulan Ramadan semakin banyak orang yang berdagang. Dan laris manis pula.
Penjual yang jamak muncul di bulan puasa adalah penjual hidangan berbuka. Setiap titik-titik strategis tidak luput dari kehadiran mereka. Bahkan, ada yang menjualnya di teras rumah saja.
Sayangnya, penjual hidangan yang berdagang di pusat keramaian biasanya tidak terkoordinasikan. Alhasil, jalanan diblokade sebagian untuk kepentingan transaksi dagangan. Bila jalan itu hanya jalan pemukiman sih tidak apa-apa, tetapi kalau jalan raya?
Perlu kedewasaan dan rasa saling menghargai yang tinngi memang supaya ketertiban tetap terjaga. Paling tidak, keberadaaan pedagang bisa ditata. Lebih baik lagi bila dilokalisasi (bukan yang itu maksudnya, paham!) ke luar bidang jalan raya. Para penjual bisa menata lapaknya masuk di gang, bukan di jalan utama. Parkir kendaraan pembeli pun bisa dikondisikan di halaman rumah warga.
Kalau di kota-kota kecil, para penjual dadakan ini tidak menjadi sebuah masalah. Volume lalu lintas belum tinggi. Bahkan, keberadaan mereka bisa menciptakan pusat keramaian yang menarik bagi warga. Agak terbalik ya, penjual yang menghadirkan pembeli. Tapi, memang begitulah adanya. Mungkin karena daerah itu cenderung sepi.
Di daerah rumah saya dulu pun seperti itu. Saat bulan puasa, sebuah jalan yang memang sepi diputuskan untuk ditutup. Jalan itu memang jarang dilalui, karena rumah-rumah yang ada dibangun tidak menghadap ke jalan itu. Penutupan jalan biasanya dilakukan setelah asar.
Penjual kemudian mulai menyusun lapaknya di jalan yang ditutup itu. Pukul 16 biasaya sudah banyak barang dagangan terhampar. Dari minuman sederhana berisi teh manis dan sirup saja sampai hidangan rumit dengan beragam campuran. Dan yang selalu ada..., menu gorengan.
Saat mendekati magrib, pembeli semakin ramai berdatangan. Tunjuk, bungkus, bayar. Ramai sekali. Sudah tidak bisa dilayani satu per satu pokoknya. Jalan untuk pindah ke lapak sebelah saja susah.
Pembeli yang frustrasi dan malas biasanya membeli makanan yang paling mudah dijangkau. Ada pula tipe pembeli gigih yang berkeliling ke semua lapak demi menemukan hidangan yang memuaskan hasrat.
Para pembeli itu bukan hanya dari warga sekitar, sebagaimana penjual. Warga-warga yang berbeda blok bahkan kompleks perumahan juga hadir dan berbelanja. Jadilah tempat itu sebagai pusat keramaian baru.
Pembeli rela datang dari jauh karena menurut mereka lebih mudah membeli jajanan daripada membuatnya sendiri. Tidak perlu repot dan bisa sekalian menghabiskan waktu. Itung-itungngabuburit.
Warga yang berada di sekitar tempat berjualan pun senang karena bisa ikut berdagang dan mendapatkan uang. Ibu-ibu juga bisa saling mengobrol antartetangga sembari menunggu waktu berbuka puasa. Eh, itu sih bukan hanya di waktu ngabuburit saja ya....
 Bila diatur dengan baik, pasar dadakan selama Ramadan memang memiliki nilai ekonomi positif. Ekses-ekses negatif juga bisa dikurangi bahkan ditiadakan. Sudahkah ada kesadaran untuk mengelola pasar dadakan selama Ramadan yang menguntungkan semua pihak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H