Mohon tunggu...
Bayu Mustaqim Wicaksono
Bayu Mustaqim Wicaksono Mohon Tunggu... Teknisi - Bayu

Mempelajari kapal, mengerjakan pesawat, menyukai kereta api, menggunakan sepeda, dan memilih mobil sebagai alternatif terakhir alat transportasi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sepotong Pisang dalam Sepanci Kolak

23 Mei 2018   22:27 Diperbarui: 23 Mei 2018   22:36 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolak - ILUSTRASI. (Sajian Sedap)

Saat puasa, entah kenapa semua hal seakan berjalan lambat. Mungkin karena kita terlalu menunggu waktu. Waktu berbuka dan waktu berhari raya. Bahkan, di waktu sangat sempit nyaris magrib, sepanci kolak masih bisa dimasak. Mungkin pula sepanci kolak bisa hadir karena semua anggota keluarga berkerja sama.

Kolak memang kompleks. Isiannya banyak. Ada pisang, ubi merah, ubi kuning, dan kolang kaling. Bahan kuahnya pun terdiri dari 3 rebusan air: air putih, gula, dan santan. Terlalu banyak bahan dan terlalu sedikit waktu bila dimasak sendirian.

Kekompakan saat memasak kolak tak ayal menyamai kekompakan pemanjat pinang saat tujuh belasan. Ketelitian mengolah bahannya menyamai telitinya pemasang lantai granit yang dituntut sangat presisi. Bila salah jenis pisang, hasilnya keras tak karuan. Andai pisang terlalu lama diceburkan saat ubi sudah melunak di panci, hasilnya akan aneh kala dinikmati.

Saya biasanya lebih suka ambil bagian dalam memotong pisang. Bukan karena mudah, tetapi demi potongan pisang ideal yang bisa saya makan. Ibu biasanya memotong pisang besar-besar. Sayangnya, potongan pisang yang besar membuat pisang masih tersisa di mulut padahal kuahnya sudah meluncur ke perut. Menurut saya, itu namanya memakan pisang dengan kuah kolak, bukan memakan kolak dengan isian pisang.

Tidak hanya saya, ibu juga punya pantangan tersendiri. Tidak suka ubi terlalu matang, katanya mblenyek. Walaupun dalam pikiran saya semua makanan pada takdirnya akan hancur saat masuk kerongkongan, pilihan dan preferensi tiap orang haruslah dihormati.

Memasak kolak ini jadi bukan demi menghadirkan makanan berbuka semata. Dalam praktiknya, ada hal-hal filosofis yang lebih dalam dan manis untuk dinikmati. Meramu berbagai bahan, berabagai rasa, dan berbagai persepsi dalam sebuah hidangan yang disukai oleh semua orang.

Alih-alih meramu kolak dengan satu aturan, kami berusaha mengakomodasi semua kepentingan. Tiap orang memperjuangkan pilihannya dengan ikut andil dalam prosesnya. Tiap orang pun menerima kerja orang lain tanpa curiga. Tak pernah terpikir hasil potongan gula si adik akan mengganggu kepentingan saya. Mubazir bila sepanci kolak yang sudah matang, nyatanya hanya memuaskan keinginan seseorang.

Setelah bahan tercampur semua dan diaduk rata, kolak akhirnya siap menyambut kumandang azan. Sepanci kolak mulai dipindahkan ke empat mangkok bersebelahan. Setiap sendok sayur terangkat, ada bahagia yang mencuat. Setiap tuangan kuah kolak beserta isinya, kami sambut dengan mangkok terangkat.

Azan magrib kemudian berkumandang. Doa berbuka dilantunkan. Sepotong pisang terangkat mendekat ke mulut saya. Hap. Masuk dan dikunyah dengan senangnya. Ini pisang yang saya potong sendiri. Potongan yang sangat pas, bisa dikunyah dan terselan bersama kuahnya. Ini pisang yang ada untuk mengisi kolak bers(n)ama keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun