Dilihat satu per satu. Varian apa yang menarik dan menggoda. Aduh, itu tiap kemasannya seperti memanggil-manggil.
"Pilih aku, pilih aku."
"Jangan! Aku aja.... Lebih besar."
"Aku-aku. Ada cokelat di luar dan di dalamnya."
Bagi pembaca yang bingung, harap simak ini dulu. Jadi, cokelatnya ini bukan cokelat batangan, melainkan cokelat lumer yang disiramkan ke berbagai isian. Alhasil, ada banyak varian.
Enaknya jualan tuh salah satunya kita bisa coba semua barang yang kita jual. Hehe. Kalau belum dicoba bagaimana tahu rasanya. Ga bisa kasih rekomendasi ke konsumen nanti. Tapi kalau saya sudah kebanyakan cobanya. Ya memang dasar suka cokelat, berapa kali pun makan tetap ingin lagi dan lagi. Apalagi pas puasa.
Balik lagi ke proses memilihnya nih. Setelah pergolakan batin yang lama, akhirnya saya pilih varian Subasa. Cokelatnya ga nahan, di luar dan di dalam.
Setelah dikeluarkan dari etalase, plastik segelnya kemudian dibuka perlahan. Matahari tampak turun ke peraduan. Lalu tutup kemasannya dibuka. Mas muazin sudah siap di depan mikrofonnya. Sendok diletakkan di dalam kemasan. Speaker masjid dinyalakan.
Dan suara indah yang dinanti pun terdengar. Alhamdulillah, sudah azan magrib. Satu bola cokelat meluncur memasuki celah bibir yang terbuka. Cepat sekali. Menukik. Dan pecah saat menyentuh jaring-jaring enzim amilase di mulut.
Puasa hari pertama pun selesai dengan lumeran cokelat memenuhi sela-sela gigi dan hingga melekat di sekujur lidah. Ada yang mau juga? Hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H