Yap, maklumlah siapapun yang pernah ke bumi perkemahan ini pasti tahu kalau pohon di sana besar-besar. Kalau malam begini, suara gesekan antardaunnya saja sudah bisa memberikan sensasi deg deg serrr. Eh, ini anak malah berani nyenter-nyenter ke atas pohon. Runyam juga kalau mereka merasa diajak ikutan.
Saat sampai di depan kami, adik kelasku ini (sebut saja Lita) minta maaf dan mengatakan aksinya itu cuma untuk meredakan ketakukannya semata. Tepuk jidat. Kami pun segera bertanya-jawab dengan Lita seputar organisasi. Setelah tanya jawab, kami meminta ceritanya tentang pengalaman kegiatan malam ini sampai dengan pos kami.
Dia bercerita, di pos sebelumnya dia memang merasakan sesuatu, tetapi ga lihat apa-apa. Di pos kami saja yang aman tenteram. Karena penasaran, teman aku menyinggung seputar gundukan sebelum pos ini, apa Lita merasakan sesuatu? Tentu cara bertanyanya cuma nyerempet-nyerempet aja, supaya ga ketahuan skenarionya.
Dia juga jawab ga lihat apa-apa. Ya sudahlah. Lita pun akhirnya lanjut jalan lagi. Dasar memang bandel atau entah kenapa, dia main-main senter lagi ke pohon yang sudah kami hindari sebagai penempatan pos kami sebelumnya. Gelap banget di situ, mana berani.
Terlanjur jauh, malas juga kami mengejar dan memperingati. Eh, lah dalah kok dia yang malah berlari kembali lagi. Mana sambil menjerit-jerit, bikin panik.
Dengan ngos-ngosan dan menagis takut, dia tunjuk-tunjuk itu pohon dan bilang ada sesuatu di atasnya. Seperti ada yang duduk katanya. Dia juga ga lihat jelas, karena cuma sekelebat tersorot oleh sinar senternya. Mau disorot ulang, keburu takut. Mending kabur.
Aduh, kejadian juga kan, pikirku. Hati sudah ikut deg-degan, tetapi ini anak orang masih ketakutan. Berusahalah kami tetap tenang dan sok berani. Berharap dia berhenti menangis segera sebelum ada tangisan lain yang menemani.
Bukan tangisan, ternyata malah ada yang menertawai. Hi... hi... hihi.... Tawa melengking wanita yang menakutkan. Aduh, rasa hati sudah tak terbendung lagi. Benar-benar mau teriak rasanya. Tetapi hanya teriak pun tak ada guna. Maka, aku mulai berlari saja, dan berteriak juga. Yang lain menyusul.
Mendekati tempat persembunyian Samsul pun tak lupa aku teriaki pula dia, “Woy, ayo balik! Ada kunti.”
Loh, dia kok cuma diam aja. Sambil lari, sambil bingung, sambil mikir. Samsul (dalam bungkus pocongan) duduk membelakangi jalan, hanya terlihat sebatas pinggang. Dan jelas sekali dia tidak terlihat merespons teriakanku.
“Masa bodo kalau mau sendirian di situ, gue tinggal,” teriakku mengancam. Siapa juga yang mau nungguin. Nikmati deh di situ sendirian. Bentar lagi juga disamperin “yang lain”.