Ini cerita dari bumi perkemahan sejuta umat di Indonesia. Nah, aku pun termasuk salah satu orang yang pernah mengadakan acara perkemahan di sana. Biasa, acara ekstrakurikuler. Dan, kalau berkemah, ga lengkap pasti ya kalau ga ada kegiatan malamnya.
Seperti biasa, kegiatan malam saat itu di isi dengan telusur bumi perkemahan oleh para adik kelas. Selain berjalan berkeliling, mereka juga harus singgah di tiap pos untuk berdiskusi dan mendapatkan pembekalan dari kakak kelasnya. Akan tetapi, jangan bayangkan yang aneh-aneh ya, kegiatan ini sepenuhnya menyenangkan dan penuh kekeluargaan.
Sebagai penambah semarak kegiatan, ada beberapa kakak kelas yang berperan untuk menguji keberanian adik-adiknya (panggil saja mereka penguji). Mereka berada tidak jauh dari tiap-tiap pos yang sudah direncanakan. Kalau kejauhan, yang ada malah si penguji yang diuji keberaniannya sendiri. Siapa coba yang mau sendirian tengah malam di bumi perkemahan.
Si penguji dibebaskan menjalankan tugas mereka menurut kreativitas masing-masing. Ada yang bersembunyi dalam gelap dan membuat bebunyian. Ada juga yang memakai kostum-kostuman.
Di dekat pos yang aku tempati, kebetulan teman yang menjadi penguji (sebut saja Samsul) dengan “cerdasnya” memakai kain pocongan. Posisinya di balik gundukan sehingga tidak terlihat jelas dari jalan. Kalau dari pos keberadaannya lebih tidak terlihat lagi. Lah kan gelap.
Untuk mengadakan kegiatan seperti itu, sebenarnya ada klausul tidak tertulis yang semestinya diikuti: dalam 1 pos minimal ada seorang yang berani. Karena, orang terbatas dan pos kami dirasa yang paling aman (tidak menyeramkan), alhasil klausul tersebut tidak terpenuhi. Alias, aku dan temanku (kami berdua) sama-sama kurang berani.
Okelah ya. Toh rasanya di sini juga ga gelap-gelap amat. Letaknya pun tidak seterpencil pos lain yang mblesep-mblesep tidak di jalan utama.
Sepanjang kegiatan pun lancar-lancar saja. Satu per satu adik kelas berjalan menghampiri kami. Saat akan mencapai pos itulah, banyak adik kelas yang berubah ekspresi, terlihat samar-samar oleh kami. Kami di pos yang sebelumnya sudah tahu bahwa itu adalah kerjaan Samsul, biasa saja melihatnya.
Setelah adik kelas datang dan bertanya jawab dengan kami pun, ekspresi ketakutannya perlahan hilang (untuk kemudian merasakannya lagi yang lebih menakutkan di pos lain, wkwkwk). Ya memang ini kan pos yang paling tidak seram. Kami pun hanya berpesan—dengan memasang wajah serius—untuk hati-hati di perjalanan berikutnya dan banyak-banyak berdoa.
Sampai akhirnya, kok ada satu orang yang gerakannya tidak biasa. Bukannya berjalan lurus ke depan atau menunduk-nunduk dan berdoa, dia malah meleng ke sana sini. Sosoknya perempuan, dan ternyata... adik kelas kami juga.
Saat melewati Samsul pun langkahnya woles aja, seperti orang tidak lihat. Ketika semakin dekat, aku teriaki pelan (lah, ini gimana teriak tetapi pelan), “Dek, senternya jangan disorot-sorot ke pohon.”