[caption id="attachment_419377" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - budi daya ikan lele (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)"][/caption]
Walaupun dua per tiga wilayah Indonesia berupa perairan, masyarakat masih jarang mengonsumsi ikan. Dari tahun 2006 hingga 2013, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia rata-rata per orang per tahun berturut-turut adalah 25,03; 26; 28; 29,08; 30,48; 32,25; 33, 89, dan terakhir 35,14 kilogram (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015). Sedangkan, masyarakat Jepang mengonsumsi ikan sebanyak 110 kg/orang/tahun. Di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, dan Amerika Serikat, konsumsi ikan penduduknya pun jauh lebih tinggi daripada Indonesia (Dahuri, 2004).
Ada fakta lain yang harus dicermati. Produksi perikanan tangkap kita sudah mencapai 5,81 juta ton pada 2013 (Novriadi, 2015). Adapun potensi produksi lestari perikanan tangkap berada pada angka 6,5 juta ton (Dahuri, 2011). Dari data itu, dapat kita simpulkan, jika kita hanya mengandalkan produksi perikanan tangkap, tidak mungkin tercapai tingkat konsumsi ikan yang tinggi.
Kecukupan pasokan ikan nasional juga terkendala kebijakan perikanan yang lebih cenderung berorientasi ekspor. Ikan-ikan kualitas 1 dan 2 dikirim untuk pasar ekspor ke Jepang, Amerika dan Uni Eropa. Sementara kebutuhan dalam negeri dipasok dengan ikan kualitas 3 dan 4. Yang lebih mengecewakan, ternyata ikan ekspor tersebut ditangkap dengan menggunakan kapal ber-BBM subsidi. Artinya, pemerintah selama ini menyubsidi kebutuhan ikan negara maju (Suhana, 2012).
Di pasar lokal, harga ikan justru cenderung mahal. Sebab, infrastruktur perikanan nasional tidak terbangun. Rantai pasok ikan terabaikan, begitu juga dengan pengolahan perikanan terpadu. Kiranya kita harus melihat kembali ketentuan Pasal 25B ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009. Undang-undang dengan tegas melarang ekspor ikan kecuali jika pasokan dalam negeri telah mencukupi kebutuhan nasional.
Kembangkan perikanan budidaya
Dengan berbagai hambatan dan masalah pada perikanan tangkap, sudah saatnya kita melirik perikanan budidaya sebagai jalan utama pemenuhan kebutuhan ikan nasional. Hingga kini, sektor perikanan budidaya masih belum dimanfaatkan secara optimal. Dari potensi 65 juta ton per tahun, produksi perikanan budidaya baru mencapai hampir 8 juta ton pada 2013 (Novriadi, 2015).
Perikanan budidaya selama ini juga cukup tangguh dan lebih jarang bermasalah. Meskipun begitu, pemerintah seharusnya tidak boleh lepas tangan. Perlu ada perencanaan matang untuk mendukung pengembangan perikanan budidaya. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari China. Komitmen pemerintahan China untuk fokus pada bidang perikanan menjadikan mereka sebagai produsen ikan nomor satu di dunia. Dan, sebagian besar produksi perikanan bertumpu pada perikanan budidaya.
Infrastruktur perikanan sudah sepatutnya menjadi fokus pemerintah. Penyelesaian masalah infrastruktur ini sangat penting dan harus dilakukan dengan otoritas penuh. Tanpa dukungan pemerintah, pembudidaya akan selalu menjumpai kemahalan biaya produksi dan rendahnya nilai jual. Jaringan perusahaan swasta juga harus dimanfaatkan dalam garis koordinasi yang jelas.
Selain faktor pemerintah, Novriadi (2015) mengungkapkan, masih ada tiga hal lain yang harus diperhatikan. Pertama, ketersediaan benih berkualitas. Untuk melakukan produksi yang baik sudah tentu diperlukan benih yang baik. Keberadaaan sentra-sentra benih baik milik masyarakat maupun perusahaan, yang memproduksi benih dalam jumlah besar, berkualitas, dan terstandar, serta didukung oleh riset yang baik mutlak diperlukan. PT Central Proteina Prima Tbk (CP Prima) harus mendapat apresiasi karena merupakan salah satu perusahaan yang cukup fokus menggarap bisnis ini.
Kedua, ketersediaan pakan. Saat ini nilai pakan masih di atas 60% biaya produksi. Para pembudidaya memerlukan pakan ikan yang lebih murah sehingga harga ikan menjadi lebih bersaing. Penurunan biaya produksi juga dapat menaikkan margin keuntungan sehingga pembudidaya bisa melakukan ekspansi dan menaikkan kapasitas.
Pada Maret 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengadakan pertemuan dengan produsen pakan ikan untuk mendorong penurunan harga. Gayung pun bersambut, CP Prima dan perusahaan produsen pakan ikan lainnya sepakat untuk membuat pakan ikan dengan harga yang lebih murah. Secara bertahap, pakan murah itu akan diproduksi dan didistribusikan.
Ketiga, dukungan teknologi budidaya. Untuk meningkatkan produksi dan mengurangi risiko, peran teknologi yang handal sangat dibutuhkan. Penggunaan teknologi berperan dalam pengembangan benih, pembuatan pakan, dan pengendalian lingkungan. Namun, teknologi yang digunakan harus diawasi supaya tidak malah membahayakan ikan dan manusia yang mengonsumsinya, misalnya dengan memberikan obat-obatan dan senyawa antibiotika.
Kemunculan berbagai rintisan-usaha teknologi budidaya menjadi preseden baik. Salah satunya adalah e-Fishery buatan PT Multidaya Teknologi Nusantara. Alat pemberi makan ikan otomatis ini telah mendapatkan apresiasi di banyak kompetisi. Dengan makin banyaknya teknologi pendukung pembudidayaan ikan, diharapkan produksi ikan menjadi lebih efisien.
Langkah-langkah tersebut jika dijalankan secara konsisten niscaya akan memperkuat sektor perikanan budidaya Indonesia. Tidak perlu lagi wajah Indonesia sebagai negara bahari tercoreng karena impor ikan yang mencapai 650.000 ton (Harjoko, 2013). Apalagi yang diimpor adalah ikan-ikan yang dapat berkembang di perairan Indonesia sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H