Mohon tunggu...
Bayu Maitra
Bayu Maitra Mohon Tunggu... -

Bayu Maitra adalah jurnalis berdomisili Jakarta. Saat ini sibuk bekerja sebagai redaktur areamagz.com dan sesekali menyempatkan diri mengisi blog-nya, bayumaitra.net. Ia menghargai hidup dan mengutuk pembunuhan terhadap binatang. "Natural" dan "karma" adalah dua kata favoritnya. Ia pilih spiritual ketimbang religius. Lebih suka buku dibandingkan televisi. Musik adalah temannya di kala menyunting. Mengapa ia ada di Kompasiana? Anggap saja ia suka dengan ide "jurnalisme warga".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Apa Wartawan Boleh Boikot?

16 Maret 2011   17:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:44 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan lalu ada kejadian menarik. Iron Maiden, band penggagas genre heavy metal tampil di Ancol, Jakarta pada Kamis, 17 Februari. Konser ini bisa dibilang fenomenal. Pengunjungnya capai 21.000 dalam satu hari konser. Iron Maiden ke Jakarta pakai pesawat pribadi milik vokalis Bruce Dickinson. Mereka bawa set panggung sendiri, meski pondasinya tetap dari panitia. Konser berlangsung sukses, meski ada cacat: ada fotografer dan videografer media yang memory card-nya dirampas.

Saya sendiri tidak menonton konser tersebut. Namun, sehari setelah konser, ada diskusi kecil di kantor. Kebetulan, fotografer areamagz.com adalah salah satu yang memory card-nya dirampas. Diskusinya terdengar ringan, namun esensinya sungguh berat. Beberapa rekan sempat mempertanyakan kemungkinan boikot alias tidak menaikkan berita di majalah kami sebagai bentuk protes. Saya duga celetukan ini muncul karena ada rasa ketersinggungan atau rasa senasib-sepenanggungan antar sesama jurnalis. Bagian pemasaran majalah bahkan mendorong untuk boikot. Mereka ada pemikiran sendiri. Majalah kami merupakan media partner dalam acara itu. Jadi, kasarnya, "masa partner dirampas?"

Tapi, apakah boikot memang boleh dilakukan wartawan?

Dalam jurnalisme, ada yang namanya segitiga loyalitas. Sisi kiri adalah stake holder yang meliputi pemasang iklan, pemegang saham, hingga kantor media tempat jurnalis bekerja. Sisi kanan adalah audience atau pemirsa. Sementara sisi bawah adalah masyarakat. Pemirsa dan masyarakat sengaja dibedakan. Arti "pemirsa" lebih kepada pembaca setia media tersebut, sementara "masyarakat" lebih mengacu pada khalayak luas. Lalu di manakah semestinya loyalitas wartawan berlabuh? Wartawan perlu memperhatikan ketiganya, tapi ketika sampai pada masalah loyalitas, itu mesti pada masyarakat.

Dalam diskusi kecil di kantor kala itu, saya bilang tidak. Wartawan tidak boleh boikot. Mengapa? Alasan utamanya mengacu pada segitiga loyalitas tadi. Loyalitas wartawan adalah kepada masyarakat. Dengan melakukan boikot, maka wartawan justru melalaikan kewajibannya sebagai pewarta profesional. Wartawan itu juga bisa dipertanyakan kredibilitasnya, apa ia loyal pada masyarakat ataukah ego pribadi?

Jika dikalkulasi untung-rugi terhadap perusahaan, boikot justru tidak ada untungnya. Pertama, uang sudah terlanjur keluar untuk biaya peliputan. Kedua, di zaman banjir informasi seperti sekarang ini, hampir 100 persen berita akan tetap keluar juga, baik melalui social media maupun blog pribadi orang-orang. Perusahaan rugi dua kali, karena ini berarti tindakan boikot sebagai bentuk protes tidak efektif.

Sudah lalai, tidak dapat untung pula. Buat apa boikot?

Saya bukannya tidak pernah punya kendala dalam meliput berita. Ada bermacam kejadian yang memang bikin gerah, seperti dicoba disogok, ditolak narasumber, dilarang motret, dibiarkan menunggu berjam-jam oleh narasumber. Tapi saya pikir ini biasa alias memang sudah resiko profesi.

Jam terbang juga berpengaruh. Wartawan muda seperti saya memang cenderung cepat 'naik darah', dan kadang jadi gelap mata hingga lebih menjunjung tinggi gengsi ketimbang memperoleh informasi. Wartawan profesional dengan jam terbang tinggi pasti punya cara lebih elok dalam menyampaikan protes. Bayangkan betapa kesalnya seorang editor ketika wartawannya pulang ke kantor tanpa sepotong informasi. Waktu sudah terbuang. Dan waktu adalah uang.

Sebagai solusi atas diskusi kecil di kantor, saya mengajukan diri untuk menulis berita soal sukses konser Iron Maiden beserta cacatnya. Saya memang tidak hadir dalam konser, oleh karenanya saya sengaja mengambil angle rekonstruksi kejadian, dengan kronologi waktu, penokohan, serta penggunaan sudut pandang orang ketiga. Liputan saya kerjakan dua minggu dengan empat narasumber, termasuk fotografer yang memory card-nya dirampas dan pendiri promotor yang mendatangkan Iron Maiden sendiri. Saya juga riset artikel di sana-sini. Tulisan sepanjang 2.400-an kata ini sudah terbit di areamagz.com dengan judul "Bagaimana Kalau Fotografer Dilarang Motret?".

Penulisan berita konser dengan menyeluruh adalah solusi yang saya tawarkan karena ia merupakan win-win solution. Di satu sisi, ini berarti jurnalis sudah manjalankan kewajiban untuk menyajikan berita dengan benar kepada masyarakat, sementara di lain sisi ia melancarkan protes atas ketidakadilan yang menimpa wartawan.

Solusi itu juga timbul berkat keyakinan bahwa tulisan adalah senjata paling ampuh bagi wartawan. Saya percaya, bagi penulis, sebuah protes selayaknya disampaikan lewat ujung pena.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun