[caption id="attachment_197673" align="alignleft" width="300" caption="Novel Tak Ada Jalan Kembali"][/caption] Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.
-Sutan Sjahrir-
Hidup itu bukan memetik nomor satu, hidup itu menanam. Hidup itu bukan sukses nomor satu, hidup itu berjuang. Jadi temukanlah kegembiraan dalam berjuang melebihi kegembiraan dari keberhasilan dari perjuangan itu.
–Emha Ainun Najib-
(Download pratinjau novel Tak Ada Jalan Kembali)
Sinopsis Cerita ini mengisahkan tentang sekelompok anak muda yang bermimpi memiliki sebuah bisnis bersama. Setelah mencoba berbagai macam pekerjaan, mereka memutuskan tak mau lagi melamar seperti anak-anak muda lainnya, tidak mau jadi PNS, menolak keinginan gaji bulanan yang besar, kemudian terkungkung dalam rutinitas yang membosankan. Tempat yang mereka pilih bukanlah gedung-gedung bertingkat dengan pendingin udara, gedung-gedung yang orangnya berseragam, diatur segala gerak-geriknya, dan menampilkan sedikit sekali ekspresi. Mereka lebih suka menyewa sebuah rumah kecil dengan dua kamar dan ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang tengah, sering penuh telur rayap di lantainya, namun memiliki arti yang sangat penting bagi jiwa muda mereka; kebebasan. Tanpa disadari, tidak hanya masa depan yang mereka pertaruhkan, tapi juga persahabatan yang awalnya tak tergoyahkan oleh apa pun, kecuali uang.
Prolog
Farhan Jagratara adalah anak muda yang selalu terobsesi bisnis. Perawakannya besar dan penuh gerak-gerik ingin tahu. Dunia bisnis yang keras membuatnya menganut prinsip bumi hangus. Mati, atau jadi pencuri, demikian Farhan Jagratara berprinsip. Dia sedang memimpin sebuah majalah dan begitu marah mendapati kenyataan yang ada di depan matanya. “Brengsek semuanya!” ia berteriak seraya membanting majalah berjudul Light ke meja. Seorang wartawannya, Fandi Muhammad, berdiri cemas. “Sori,” katanya. “Irwan yang memintaku untuk…” “Aku tahu!” dengan cepat Farhan Jagratara memotong. “Orang-orang ini cuma berani bermimpi tapi tak mau bekerja keras!” Farhan Jagratara kemudian terdiam menatap layar komputernya. Sebuah website menampilkan slideshow acara-acara festival, konser, dan seminar dengan foto-foto yang menarik. Semuanya bercerita tentang anak muda dan inspirasi. Tanpa bersuara sedikit pun, Fandi Muhammad menghampiri meja Farhan Jagratara. Wartawan itu bertubuh ceking, sampai-sampai orang akan mengira bahwa dia lebih kurus dengan tulang pipinya yang menonjol, kumis yang memanjang melebihi sudut bibirnya, dan kenyataan bahwa ia sering merokok. Orang-orang sering menganggap Fandi Muhammad sedang menjalani gaya hidup seorang hippie, dimana ia berkesan seperti sedang menyembunyikan kulit putihnya yang mulus dengan kebiasaan mengenakan jins belel, juga sweater hijau yang pudar. Sambil berdiri agak membungkuk, Fandi Muhammad berkata, “Ehm, Farhan,” ia memanggil dengan ragu. “Sebaiknya kita menghubungi Irwan saja ya? Kita ajak dia—” Farhan Jagratara langsung menoleh dan menatapnya dengan tajam. Dadanya bergerak naik turun seolah mengguncangkan badannya yang gempal. Untung saja pipinya yang membulat tak sampai menampakkan rahangnya yang sedang menegang. Dia marah sekali… Fandi Muhammad menahan nafas, menyelipkan rambutnya yang panjang bergelombang hingga menutupi daun telinga. Ia berusaha menghindari tatapan Farhan Jagratara yang begitu menindas. Ketika membakar rokoknya yang bergetar, wartawan itu berharap Farhan Jagratara tidak meledak dan membuat semua orang di sekitarnya—seperti yang belakangan sering ia rasakan—menjadi putus asa. Jangan sampai dia meledak lagi, pikir Fandi Muhammad. Dan aku bertaruh semuanya akan lenyap. “Tidak perlu,” Farhan Jagratara berdiri. “Aku sudah memutuskan—” Sejenak kemudian Farhan berhenti. Ia berpikir apakah semua ini benar-benar harus dilakukan? Apakah keputusannya akan tepat? Bagaimana kalau suatu hari nanti dia bakal menyesal? Ia mendongak, menatap langit-langit untuk kesekian kalinya, menerawang ke sudut-sudut redup ruangan. Inilah pertaruhan… akhirnya ia berkata dalam hati. Ia menoleh kepada Fandi Muhammad kembali. Sepintas lalu ia memejamkan matanya—menarik nafas, berjalan secepat mungkin menuju sofa merah bermotif kembang-kembang di ruang tamu, kemudian menjatuhkan tubuhnya dengan keras. “Aku akan menutup majalah ini,” ujarnya kemudian. Fandi Muhammad lupa menghembuskan asap rokoknya. Benar, kan …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H