Presiden baru Filipina, Rodrigo Duterte, tengah meniti jalannya menjadi pemimpin legendaris negara itu, barangkali untuk menjadi sejajar dengan Ferdinand Marcos dan Cory Aquino.
Dulu ketika masih berkampanye, bekas walikota Davao itu sering disamakan dengan kandidat Presiden AS, Donald Trump. Keduanya sama-sama senang mengeluarkan retorika yang keras dan mengabaikan HAM demi kepentingan konstituennya.
Tapi setelah menjabat, Duterte membuktikan dia pantas untuk mendapat perhatian sebagai dirinya sendiri; tidak lagi disama-samakan dengan orang dari belahan lain bumi. Ia membuktikan omongannya, yaitu akan mendorong pemberantasan narkotika dengan cara seganas mungkin. Didukungnya penindakan terhadap mereka yang dituduh sebagai pelaku peredaran narkotika sampai ke titik yang paling ektrem: pembunuhan tanpa proses hukum.
Diperkirakan kini telah ada lebih dari 3000 nyawa warga negara melayang di Filipina. Sekitar sepertiga dari seluruh pembunuhan dilakukan oleh kepolisian negara. Sementara sisanya – yang berarti dua kali lebih banyak – dilakukan oleh pihak lain yang tidak diketahui. Kemungkinan oleh sesame anggota masyarakat yang main hakim sendiri, terdorong oleh lontaran wacana Presiden Duterte.
Dampaknya bahkan sampai ke Indonesia. Dalam kunjungan perdananya itu, Duterte menarik Mary Jane Veloso kembali ke hadapan moncong senapan algojo Republik Indonesia. Kasihan Manny Pacquiao. Sudah kalah di ring lawan Mayweather Jr, sekarang kalah lawan Duterte dalam urusan membela Mary Jane. Rosa!
Pemberantasan Gali
Tindak tanduk Duterte mengingatkan kita pada ‘kebijakan’ pemerintah Orde Baru di Indonesia pada pertengahan dekade 80-an yang kita ingat dengan sebutan Petrus. Bukan Petrus penjaga pintu surga, tapi Petrus akronim untuk Penembak Misterius.
Tapi Petrus itu pun adalah nama julukan. Sebenarnya Petrus adalah serangkaian tindakan dari pemerintah – khususnya ABRI – untuk menindak tegas pelaku premanisme yang disebut gabungan anak liar atau gali. Ada Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), Operasi Celurit, dan lain-lain.
Kata ‘Misterius’ pada julukan Petrus juga terasa pas untuk menggambarkan sikap resmi pemerintah saat itu. Ada pihak dari dalam rezim yang terang-terangan mendukung program tersebut sebagai suatu hal yang perlu dilakukan untuk kebaikan yang lebih besar. Tapi ada juga petinggi militer yang gigih membantah keterlibatan angkatan bersenjata dalam rangkaian pembunuhan tersebut.
Meski terkesan biadab, sulit dipungkiri bahwa Petrus berjalan cukup efektif. Bapak mbok saya – dan orang-orang yang segenerasi – sampai sekarang masih rajin betul mendongengi saya dengan kisah masa itu. Betapa sebelum Petrus, keluar malam sama seramnya dengan acara Uji Nyali di televisi. Atau soal terbatasnya mobilitas warga biasa karena kawasan-kawasan tertentu benar-benar menjadi wilayah outlaw, buas seperti wild west.
Para penggemar puden grasa soklatit uterus meyakinkan saya untuk bersyukur bahwa saya bisa bebas melewati Jalan Gejayan jam berapapun tanpa rasa takut, sekarang ini.