Motivator ulung Mario Teguh beberapa waktu lalu men-somasi dedengkot talkshow ‘Hitam Putih’, Deddy Corbuzier, terkait episode wawancara terhadap Ario Kiswinar. Mario menilai tayangan itu tidak berimbang karena dilakukan tanpa konfirmasi terhadap pihaknya.
Somasi antar selebritas adalah hal yang biasa, dan biasanya berakhir secara tidak jelas. Bagi saya, hal yang paling menarik dari potongan saga kali ini adalah jawaban dari tertuntut melalui medsos, terutama pada kicauan Deddy yang ketiga. Saya potong saja pada kalimat pertama, begini kira-kira bunyinya:
“Jadi intinya... yuk kita sebagai PRIA saya minta selesaikan baik-baik, dibanding kita nanti SALING menSOMASI.”
Saya tertarik dengan penggunaan konsep pria yang penulisannya menggunakan ALLCAPSdi situ. Seperti bisa kita lihat di TV, Deddy Corbuzier (baca: Ko-Bu-Zye) berhasil hidup kembali dari reruntuhan kariernya sebagai pesulap beberapa tahun lalu. Saat itu, ia lahir baru dalam sosok yang memang sangat laki. Body building, rambutnya dikepras habis, dan berbicara dengan gaya yang machonan tegas. Bisa bikin merinding siapa saja.
Sepak terjang Deddy sebagai host‘Hitam Putih’ pun mengukuhkan citra ini. Deddy sering men-skak bintang tamu yang memang public enemy dengan gaya mendebat yang lugas dan logis.
Tapi kembali ke masalah ke-pria-an dan ke-lakik-an tadi, Deddy juga tak ragu menonjolkan sisi maskulin dirinya. Tidak, bukan dengan memamerkan otot-ototnya yang aduhai, melainkan lewat caranya mendeskripsikan proses pembuatan film terbarunya yang bertema bela diri. Sebagai actor utama, ia harus melewati rangkaian shootingyang keras, penuh risiko, nyaris tanpa fitur pengamanan standar, dan tak lupa mendaftar cedera yang harus diderita dirinya dan kawan sesama pamain utama. Sangat lakik.
Pilihan Deddy Corbuzier untuk mem-PRIA-kan responnya terhadap Mario Teguh sebenarnya sangat bisa dimengerti. Bagaimanapun, Deddy adalah manusia yang, sama seperti saya dan Anda, tidak lahir dalam ruang kosong. Manusia adalah satu komponen dari sebuah system sosial-budaya yang luas dan dirajut dalam jangka waktu sangat lama.
Dan rajutan itu kebetulan menganakemaskan posisi pria ketimbang wanita. Apa yang ingin dilakukan Deddy dalam kicau merdu di atas adalah merebut makna kejantanan itu, tidak membiarkan dirinya berada dalam posisi inferior pada konflik terkait, dan sekaligus psywarterhadap penuntut yaitu sang motivator ulung Mario Teguh.
Menurut Deddy, tindakan main somasi itu tidak mencerminkan hakikat pria, alias tidak laki. Yang laki adalah berani berhadapan dan bertukar argument serta membuktikan siapa yang benar siapa salah.
Di sini saya tergelitik. Saya meyakini, tanpa penjelasan ilmiah sahih dan bukti yang valid, bahwa dulu pendefinisian laki-laki tidaklah serumit ini. Pada satu titik di awal peradabanya, sepertinya umat manusia mengelompokkan laki dari perempuan secara sederhana. Kalau alat kelamin situ menonjol keluar, situ masuk golongan lelaki. Kalau menjorok ke dalam, ya perempuan. Habis perkara.
Seiring merumitnya peradaban manusia, karakteristik tambahan mulai dilekatkan. Diawali dari pembagian ranah kerja: domestik untuk perempuan dan publik untuk laki-laki. Perempuan mengurus rumah, jadi mereka harus rajin, telaten, sabar, dan submisif sampai kadar tertentu. Perempuan tidak dikondisikan untuk bersaing.