Masih banyak pihak yang menganggap public relation (PR) sebagai dunianya perempuan. Cukup dengan penampilan fisik yang menarik, anda dapat menjadi PR yang baik. Masih relevankah stereotype seksis ini?
PR, atau yang dalam Bahasa Indonesia berpadanan kata dengan hubungan masyarakat (humas), sering dipandang sebelah mata. Dalam pengertian masyarakat awam nan konvensional, profesi ini dianggap hanya sebagai bumper perusahaan dalam berhubungan dengan masyarakat. Dengan sendirinya, menurut pandangan ini, seorang PR harus memiliki penampilan fisik yang menarik, agar saat terjadi lobbying, pertama-tama orang akan langsung menaruh simpati. Dan dalam dunia patriarkhi ini, perempuan dipandang sebagai makhluk yang lebih menarik dibandingkan lawan jenisnya.
[caption id="attachment_96660" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi - dunia humas, kini masalah strategi perusahaan, tidak lagi mengutamakan penampilan fisik pelaku."][/caption]
Pengurus Perhimpunan Humas indonesia atau Perhumas, Ade Ivan (22), mencoba merumuskan dari mana asal stereotype ini. Menurutnya, tugas PR pada masa awal sebatas pada aksi lobi dan klipping media massa. Yang terakhir disebut memerlukan ketelitian. Dan dari sinilah, masih menurut Ade, muncul "cap" perempuan sebagai penguasa dunia PR. Pendapat ini pun sejatinya mengandung stereotype lain, hanya perempuan yang bisa bekerja dengan penuh ketelitian. Laki-laki tidak.
Sebelum memasuki ranah praktisi, dunia akademikpun menunjukkan fenomena serupa. Mayoritas mahasiswa jurusan hubungan masyarakat adalah perempuan. Ade mencontohkan, dalam sebuah kelas kuliah yang pernah diikutinya, dari sekitar 60-an peserta, hanya ada empat mahasiswa laki-laki. Sisanya perempuan. Dalam Perhumas, Ade menyebutkan, saat ini proporsinya seimbang antara kedua gender. Hanya saja, Ade membaca ke depan tetap akan lebih banyak pengurus dan anggota perempuan.
Perubahan zaman, perubahan tuntutan
Humas sebagai profesi pertama kali diterapkan di Indonesia secara resmi pada tahun 1962, yaitu ketika kabinet Juanda mewajibkan setiap perusahaan memiliki divisi humas. Sebelumnya, pada awal dekade 1950-an, Pertamina membentuk divisi Hubungan Pemerintah dan Masyarakat (HUPMAS). Pada tahun 1954, kepolisian mengikuti langkah tersebut dengan membentuk divisi humasnya. Mengikuti instruksi Perdana Mentri Juanda tadi, kebanyakan perusahaan swasta dan instansi pemerintahan memiliki divisi humas pada dekade 1970-an.
Saat ini, telah muncul banyak organisasi atau perkumpulan profesi PR di Indonesia. Sebut saja Perhumas, Public Relations Society of Indonesia (PRSI), Forum Komunikasi Antar Humas Perbankan (FORKAMAS), dll.
Kini tuntutan terhadap PR telah berubah. Kemampuan lobi, jelas masih penting. Namun, kini peran PR dalam perusahaan menjadi lebih vital. Bukan lagi pasif dan reaktif "menunggu" adanya persoalan dalam masyarakat, melainkan aktif dan berinisiatif menciptakan citra baik perusahaan. "Saat ini bahkan berbagai perusahaan merasa mebutuhkan keberadaan Departemen Humas," ujar Ade, yang tercatat sebagai mahasiswa PR di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Ade merasa stereotype seksis tersebut tidak lagi relevan.
Pendapat senada juga diungkapkan Titis (20), juga mahasiswa PR di UAJY. Perempuan berambut keriting ini merasa perkembangan zaman membuat dunia PR berkembang. Titis mengungkapkan, "Fungsi PR dulu dengan sekarang berbeda". Dirinya menganggap, hal paling penting untuk menjadi seorang PR adalah kemampuan menjalankan komunikasi dengan publik. Dengan demikian, jenis kelamin tidak lagi diperhatikan. Baik laki-laki maupun perempuan berpeluang menjadi PR yang baik.
Lebih jauh, Humas Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Ilmu Komunikasi UAJY, Tina (20), berani menyebutkan bahwa saat ini lebih banyak praktisi PR ternama yang berjenis kelamin laki-laki. "Mahasiswanya memang lebih banyak perempuan. Tapi kalau praktisi yang terkenal, banyak laki-lakinya. Misalnya Pujobroto (humas PT Garuda Indonesia - red)," ujarnya.
Hapus stereotype
Seiring laju perjuangan kesetaraan gender di bawah payung gerakan feminisme, stereotype seksis terhadap profesi hubungan masyarakatpun ada baiknya direduksi, jika tidak dihilangkan. PR tidak lagi mengutamakan penampilan fisik para pelakunya. Sejatinya, orientasi penampilan fisik yang dilekatkan pada perempuan dapat dianggap sebagai perendahan dan obyektifikasi kaum hawa. Dalam kerangka ini, perempuan dipandang secara dangkal sebagai bentukan fisik belaka. Tidak lebih.
Keberadaan stereotype ini sejatinya juga merugikan laki-laki. Setidaknya, bukan tidak mungkin seorang laki-laki akan menghindari profesi PR, meskipun sebenarnya dia menginginkannya. Hanya karena takut dianggap kewanita-wanitaan oleh masyarakat. Bisa saja.
Dan mari membayangkan ketika perbedaan gender tidak lagi menciptakan dikotomi pada masyarakat. Profesi PR menjadi ruang yang terbuka bagi laki-laki maupun perempuan. Peluang akan lebih terbuka lebar bagi siapapun yang meminati bekerja di dunia Humas.
Yang jelas, profesi PR saat ini tidak boleh dipandang sebelah mata, sebagaimana profesi lainnya. PR, masih seperti dunia kerja lain, membutuhkan praktisi yang kompeten dalam skill tertentu. Skill, dan bukan lagi mengutamakan gender tertentu.
Sayangnya, dalam waktu dekat mimpi ini tampaknya sulit untuk terwujud. Dari akar, yaitu dunia perguruan tinggi, masih terbangun persepsi yang salah dalam diri mahasiswa mengenai PR. "Dari calon peminatnya sendiri sudah salah. Mereka banyak yang ingin jadi PR karena suka nge-MC, atau malah ada yang karena ingin terkenal," ujar Tina. "Sudah terlanjur tertanam kesalahan persepsi tentang profesi ini," tambah Tina, menutup pembicaraan kami sore itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H