Mohon tunggu...
Bayu Indrakrista
Bayu Indrakrista Mohon Tunggu... -

Seorang pendengar musik lawas. Dari tahun berapapun hingga dekade 90. Dan berharap mendapatkan inspirasi darinya.\r\n\r\nMemiliki ketertarikan pada masalah sosial, (sedikit) politik, dan sejarah. Atau semacam itulah...

Selanjutnya

Tutup

Money

Dunia PR yang Tidak (Lagi) Didominasi Perempuan

17 Maret 2011   14:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih jauh, Humas Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Ilmu Komunikasi UAJY, Tina (20), berani menyebutkan bahwa saat ini lebih banyak praktisi PR ternama yang berjenis kelamin laki-laki. "Mahasiswanya memang lebih banyak perempuan. Tapi kalau praktisi yang terkenal, banyak laki-lakinya. Misalnya Pujobroto (humas PT Garuda Indonesia - red)," ujarnya.

Hapus stereotype

Seiring laju perjuangan kesetaraan gender di bawah payung gerakan feminisme, stereotype seksis terhadap profesi hubungan masyarakatpun ada baiknya direduksi, jika tidak dihilangkan. PR tidak lagi mengutamakan penampilan fisik para pelakunya. Sejatinya, orientasi penampilan fisik yang dilekatkan pada perempuan dapat dianggap sebagai perendahan dan obyektifikasi kaum hawa. Dalam kerangka ini, perempuan dipandang secara dangkal sebagai bentukan fisik belaka. Tidak lebih.

1300371596743251586
1300371596743251586

Keberadaan stereotype ini sejatinya juga merugikan laki-laki. Setidaknya, bukan tidak mungkin seorang laki-laki akan menghindari profesi PR, meskipun sebenarnya dia menginginkannya. Hanya karena takut dianggap kewanita-wanitaan oleh masyarakat. Bisa saja.

Dan mari membayangkan ketika perbedaan gender tidak lagi menciptakan dikotomi pada masyarakat. Profesi PR menjadi ruang yang terbuka bagi laki-laki maupun perempuan. Peluang akan lebih terbuka lebar bagi siapapun yang meminati bekerja di dunia Humas.

Yang jelas, profesi PR saat ini tidak boleh dipandang sebelah mata, sebagaimana profesi lainnya. PR, masih seperti dunia kerja lain, membutuhkan praktisi yang kompeten dalam skill tertentu. Skill, dan bukan lagi mengutamakan gender tertentu.

Sayangnya, dalam waktu dekat mimpi ini tampaknya sulit untuk terwujud. Dari akar, yaitu dunia perguruan tinggi, masih terbangun persepsi yang salah dalam diri mahasiswa mengenai PR. "Dari calon peminatnya sendiri sudah salah. Mereka banyak yang ingin jadi PR karena suka nge-MC, atau malah ada yang karena ingin terkenal," ujar Tina. "Sudah terlanjur tertanam kesalahan persepsi tentang profesi ini," tambah Tina, menutup pembicaraan kami sore itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun