(Dari Hukum Menuju Politik Aliran)
Â
Oleh:
Patrialis Akbar
Â
Tahun 2016, KPK telah mengumumkan prestasi melakukan OTT (operasi Tangkap Tangan) sebanyak 16 kasus. Angka OTT sekarang semakin menjadi andalan KPK setelah memang agak sulit menemukan prestasi mengungkap "megakorupsi" dan "mengembalikan kerugian negara" yang menjadi tujuan awal dibentuknya lembaga pemberantasan korupsi yang kuat ini.
Kini, korupsi bukan lagi pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara tetapi pelanggaran etika dan moral karena menerima pemberian orang. Apakah keputusan seorang pejabat melanggar aturan, itu tidak penting atau apakah keuangan negara ada kerugian, itu tidak penting juga. Faktor penting sekarang bergeser adalah pejabat terbukti menerima uang atau tidak.
Sementara itu, hanya ada 1 cara membuktikan penerimaan uang, yaitu dengan menyadap-nya berbulan-bulan dan atau bila perlu menjebaknya. Ini terjadi dalam banyak kasus dan langkah ini memang mendatangkan sensasi yang luar biasa.
Rakyat sekarang sudah lupa, apakah uang mereka balik atau tidak, yang penting mereka bahagia menonton para pejabat ditangkap dan memakai baju oranye. Itu saja cukup dan juga cukup untuk menjaga eksistensi KPK. 16 kasus OTT KPK tahun 2016 tidak melibatkan uang negara 1 rupiah pun.
Sementara itu, OTT bukan metode penegakan hukum pemberantasan korupsi. Sebab di dalamnya banyak tindakan melawan hukum . Sebut contoh kasus Irman dan Patrialis Akbar. Ini adalah penjebakan kepada pejabat negara. Sebab motif penyuap telah dibaca sejak awal.
Dalam kasus mantan ketua DPD Irman Gusman, Sutanto sebagai penyuap adalah tahanan kota padang, maka sewaktu ia keluar kota bahkan keluar propinsi harusnya dicegah. Tetapi ini adalah penjebakan sehingga Sutanto begitu mudah keluar dan naik pesawat ke jakarta lalu pada tengah malam menyuap Irman. Sehingga dengan mudah KPK menangkap Irman.
Dalam textbook hukum kuno, sebenarnya tangkap tangan adalah tindakan yang tidak direncanakan dan biasanya dilakukan oleh masyarakat dan bukan aparat. Tangkap tangan dilakukan kepada seseorang yang tiba-tiba ditemukan melakukan tindakan pidana dengan seluruh alat bukti yang diperlukan.
Sementara itu, OTT yang dilakukan KPK adalah tindakan yang telah dipantau lama dan lalu  di ujung biasanya dilakukan dengan mengatur tindakan itu dengan pelaku. Dalam banyak kasus suap bahkan penyuap ditangkap duluan seperti suap Bupati Bogor Rahmat Yasin dan seorang hakim oleh Probosutedjo.
Maka, dalam kasus OTT yang menjadi sasaran bisa diatur dan dipilih. Dalam hal ini. Jalan efektif untuk menunjukkan prestasi pencitraan pemberantasan korupsi. Tetapi yang lebih berbahaya adalah karena OTT dipakai untuk mengalihkan isu dan mengganti arah perhatian publik.
Sebagai contoh, kasus yang menimpa Ahok, Aguan, Sunny Tanuwijaya, dlll masih banyak lagi tetapi ini lebih segar adalah korupsi besar. Dalam kasus Sumberwaras, Reklamasi, dan Sumbangan kepada @TemanAhok telah ditemukan semua unsur dalam tindak pidana korupsi; pelanggaran UU, memperkaya diri sendiri dan orang lain, merugikan keuangan negara bahkan perekonomian negara. Posisi Aguan dalam kasus ini sama persis dengan status Fahmi (bendahara MUI) dalam kasus Bakamla).
Tetapi, kasus ini tidak diteruskan karena lobby kelompok pemilik modal yang sangat kuat di dalam KPK dan juga karena tidak ada penyadapan dan penjebakan  untuk melakukan OTT. Akhirnya semua ini menyelamatkan agama dan etnis tertentu dan tidak menyelamatkan agama dan etnis lain.
Irman dan Patrialis adalah 2 tokoh Minang santri yang mencapai puncak jabatan sebagai tokoh Minang. Irman sering mengadvokasi kalangan "pribumi" dan Patrialis Akbar sering memakai video dan YouTube untuk meluruskan pemahaman kenegaraan terhadap kelompok yang senang menyerang kelompok Islam karena sikap keagamaannya.
Maka, dua orang ini memiliki musuh yang sama; Â yaitu kelompok yang merasa terganggu dengan langkah mereka. Tidak kita sadari, sebagai bangsa KPK telah berperan sangat efektif dalam mengadu domba kelompok-kelompok dalam tubuh bangsa Indonesia dan memang ada kelompok yang berpesta karena mampu menyerang siapa saja yang mereka anggap musuh dengan memakai KPK.
Perhatikan selanjutnya, siapa penyuap Irman dan penyuap Patrialis? Dan peta ini akan terus nampak ke depan.. Maka KPK sebagai alat perjuangan kelompok akan mengorbankan masa depan bangsa ini hanya sebagai pemuas dendam tetapi tidak untuk memberantas korupsi... Tidak untuk menyelamatkan keuangan negara dan juga tidak untuk memperbaiki bangsa ini.....
Â
(penulis adalah Dosen hukum dan Filsafat di sebuah perguruan tinggi swasta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H