Muncul pemberitaan yang bersumber dari Katadata menyebutkan, Pemerintah memberikan bantuan ke BUMN dengan total 152 triliun. Masih dari sumber yang sama, dijelaskan bahwa sebagian besar uang itu berasal dari dana jualan obligasi.
Ada sudut pandang gelap yang sengaja dibentuk: demi membantu BUMN, Pemerintah rela berhutang.
Orang-orang kemudian ramai menyerang perusahaan yang dimaksud, Pertamina salah satunya. Dalam sebuah cuitan di Twitter misalnya, ada akun yang mengaitkan soal bantuan Pemerintah itu dengan membandingkan kebutuhan BPJS. Seolah-olah hendak dibentuk framing, Pemerintah tak peduli kesehatan warganya. Tapi hanya fokus pada kepentingan para pengusaha besar.
Framing jahat seperti itu dibumbui dengan menempelkan soal bisnis keluarga Kalla yang terkait Pertamina. Kemudian tercipta framing baru, seolah hendak mengatakan, dana bantuan itu untuk menghidupi perusahaan keluarga mantan Wapres tersebut. Pemerintah tidak pro rakyat.
Opini jahat seperti itu lahir karena informasi yang salah. Katadata salah satunya, yang membuat infografis tentang bantuan Pemerintah terhadap BUMN itu. Faktanya, tidak semua uang tersebut bentuknya adalah bantuan. Ada sebagian besar yang justru adalah kewajiban Pemerintah.
Tengoklah untuk bantuan Pertamina. Disebutkan di sana, Pertamina mendapatkan bantuan sebesar 40 triliun. Wow besar sekali. Padahal ini info yang salah. Media secara gegabah telah mengutip berita dan menafsirkan sesukanya.
Faktanya, itu bukan bantuan, tapi memang kewajiban Pemerintah terhadap penugasan yang diberikan pada Pertamina. Pembayaran seperti itu rutin dilakukan setiap tahun. Entah ada Corona atau tidak. Uang itu bukan sumbangan. Tapi hak Pertamina.
Info dari Pertamina menyebutkan, per Mei 2019, Pemerintah masih memiliki utang ke Pertamina sebesar Rp 41,6 triliun. Bandingkan dengan jumlah yang baru saja hedak dibayarkan itu, malah masih ada selisih 1,6 triliun. Itu semua kewajiban Pemerintah, hak yang mesti diterima Pertamina.
Dengan demikian, info yang sudah ramai beredar itu adalah salah. Mungkin media bisa meralatnya. Tapi upaya memadamkan api itu tidak banyak berguna. Karena kebakaran telah terjadi sejak beberapa hari sebelumnya.
Peristiwa seperti ini sudah berulangkali terjadi. Tapi tidak ada tindakan tegas dari pihak terkait. Misalnya Dewan Pers atau Kominfo. Kebiasaan memberikan informasi yang salah ini harus dihentikan. Kita tidak butuh jurnalisme abal-abal.
Karena informasi yang dipelintir itu menimbulkan kegaduhan di akar rumput. Kepercayaan terhadap Pemerintah dan aparat hukum turun drastis. Efek dominonya bermacam-macam. Masyarakat berjarak dari pembuat peraturan. Mereka membangkang. Jika diteruskan dalam jangka panjang, bisa dibayangkan kekacauannya.