Mohon tunggu...
Bayu Geni
Bayu Geni Mohon Tunggu... Editor - Blogger Independen

Tinggal di pinggiran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nikmatnya Nyinyir Berjamaah dengan Informasi yang Salah

27 Mei 2020   13:02 Diperbarui: 27 Mei 2020   15:10 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muncul pemberitaan yang bersumber dari Katadata menyebutkan, Pemerintah memberikan bantuan ke BUMN dengan total 152 triliun. Masih dari sumber yang sama, dijelaskan bahwa sebagian besar uang itu berasal dari dana jualan obligasi.

Ada sudut pandang gelap yang sengaja dibentuk: demi membantu BUMN, Pemerintah rela berhutang.

Orang-orang kemudian ramai menyerang perusahaan yang dimaksud, Pertamina salah satunya. Dalam sebuah cuitan di Twitter misalnya, ada akun yang mengaitkan soal bantuan Pemerintah itu dengan membandingkan kebutuhan BPJS. Seolah-olah hendak dibentuk framing, Pemerintah tak peduli kesehatan warganya. Tapi hanya fokus pada kepentingan para pengusaha besar.

Framing jahat seperti itu dibumbui dengan menempelkan soal bisnis keluarga Kalla yang terkait Pertamina. Kemudian tercipta framing baru, seolah hendak mengatakan, dana bantuan itu untuk menghidupi perusahaan keluarga mantan Wapres tersebut. Pemerintah tidak pro rakyat.

Opini jahat seperti itu lahir karena informasi yang salah. Katadata salah satunya, yang membuat infografis tentang bantuan Pemerintah terhadap BUMN itu. Faktanya, tidak semua uang tersebut bentuknya adalah bantuan. Ada sebagian besar yang justru adalah kewajiban Pemerintah.

Tengoklah untuk bantuan Pertamina. Disebutkan di sana, Pertamina mendapatkan bantuan sebesar 40 triliun. Wow besar sekali. Padahal ini info yang salah. Media secara gegabah telah mengutip berita dan menafsirkan sesukanya.

Faktanya, itu bukan bantuan, tapi memang kewajiban Pemerintah terhadap penugasan yang diberikan pada Pertamina. Pembayaran seperti itu rutin dilakukan setiap tahun. Entah ada Corona atau tidak. Uang itu bukan sumbangan. Tapi hak Pertamina.

Info dari Pertamina menyebutkan, per Mei 2019, Pemerintah masih memiliki utang ke Pertamina sebesar Rp 41,6 triliun. Bandingkan dengan jumlah yang baru saja hedak dibayarkan itu, malah masih ada selisih 1,6 triliun. Itu semua kewajiban Pemerintah, hak yang mesti diterima Pertamina.

Dengan demikian, info yang sudah ramai beredar itu adalah salah. Mungkin media bisa meralatnya. Tapi upaya memadamkan api itu tidak banyak berguna. Karena kebakaran telah terjadi sejak beberapa hari sebelumnya.

Peristiwa seperti ini sudah berulangkali terjadi. Tapi tidak ada tindakan tegas dari pihak terkait. Misalnya Dewan Pers atau Kominfo. Kebiasaan memberikan informasi yang salah ini harus dihentikan. Kita tidak butuh jurnalisme abal-abal.

Karena informasi yang dipelintir itu menimbulkan kegaduhan di akar rumput. Kepercayaan terhadap Pemerintah dan aparat hukum turun drastis. Efek dominonya bermacam-macam. Masyarakat berjarak dari pembuat peraturan. Mereka membangkang. Jika diteruskan dalam jangka panjang, bisa dibayangkan kekacauannya.

Sudah waktunya media massa online ditertibkan. Mereka tidak boleh fokus pada pemburuan klik. Media massa harus kembali pada khitohnya, menjadi penyambung kebenaran untuk rakyat banyak. Bukan malah justru mengacaukan dan membuat gaduh.

Gaduh karena informasi benar masih bisa dimaklumi. Tapi gaduh karena informasi yang salah itu menyedihkan. Apalagi ini terus-menerus diulang. Mestinya kita membudayakan malu berbuat salah. Yang terjadi malah sebaliknya. Hari ini bikin info salah, besok diralat. Kemudian bikin kesalahan lagi lain waktu.

Era posttruth dan kematian jurnalisme ini harus segera dikendalikan. Karena kita hidup bernegara memerlukan tatanan yang baik. Bukan hukum rimba dan filosofi asu gedhe menang kerahe (anjing besar menang ributnya). Kita ini manusia. Punya budi dan nalar jernih. Tidak boleh meniru anjing besar dengan hukum rimbanya. Karena kita ini manusia.

Bayu Geni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun