Mohon tunggu...
Bayu Geni
Bayu Geni Mohon Tunggu... Editor - Blogger Independen

Tinggal di pinggiran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menerangi Papua dengan Energi Baru Terbarukan

26 Mei 2020   15:48 Diperbarui: 26 Mei 2020   16:04 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengamati Papua yang tertinggal dan gelap di malam hari menerbitkan rasa sedih. Fakta getir itulah yang terpampang di sana selama puluhan tahun lamanya. Ini adalah dosa sosial yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, sejak mereka dibebaskan dari cengkeraman Belanda.

Indonesia telah berbenah. Kesalahan itu sedang ditebus. Papua hendak disetarakan dengan saudaranya yang lain. Pembangunan Papua memang bukan hanya persoalan fisik. Kondisi tertinggal dalam segenap lini itu harus dikejar secara bersamaan.

Itulah yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Nasib Papua harus jauh lebih baik dari tahun-tahun penuh kemuraman sebelumnya. Itu terlihat dari gencarnya pembangunan yang dilakukan di sana.

Untuk urusan listrik, Papua juga mengalami nasib nahas. Kondisi alam dengan infrastruktur yang minim membuat kemajuan sulit diwujudkan di sana. Keprihatinan itu terus mengendap, sampai akhirnya muncul satu kesepakatan, Papua harus dibuat terang secepatnya.

Langkah awal telah dilakukan Pemerintah dengan memberikan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Ini memang bukan solusi permanen. Hanya upaya agar rakyat Papua yang terisolir bisa menikmari listrik secepatnya. Seiring dengan itu pembangunan infrastruktur kelistrikan terus dijalankan.

Kemudian pada tahun 2018 dibentuklah Ekspedisi Papua Terang. Ekspedisi ini muncul karena mengetahui kenyataan, kondisi papua masih banyak yang gelap gulita. Elektrifikasi Papua di bawah 50%, Papua Barat di atas 80%. Hal itu terjadi karena kondisi alam Papua yang sulit ditembus. Terlebih lagi, infastruktur dasar juga banyak yang tidak ada.

Jalan di Papua hanya tanah atau rawa. Orang-orang ke mana-mana mesti jalan kaki. Satu wilayah dengan wilayah lain terputus. Kondisi itulah yang membuat pembangunan infrastruktur listrik terhambat.

Di tengah keprihatinan itu, muncul ide segar untuk melakukan percepatan kelistrikan Papua dan Papua Barat. Targetnya adalah membuat tingkat pengguna listrik mencapai 99%. Berbagai ide dilontarkan. Target itu tak mungkin tercapai jika menggunakan cara lama. Elektrifikasi Papua harus didekati dengan cara pandang baru.

Memang sulit jika harus mengangkat tiang, kabel dan mesin berat ke atas bukit, menyeberangi rawa, melintasi sungai yang tak ada jembatannya. Karena itulah yang harus dilakukan jika ingin menyambung kabel dari pusat, lalu mengalirkannya ke dusun-dusun terisolir itu.

Tetapi cara itu harus ditinggalkan. Karena tak mungkin diwujudkan dalam waktu dekat. Ongkosnya juga terlalu mahal. Belum lagi mengingat bahaya di lapangan. Ada separatis bersenjata, ada buaya dan binatang berbisa. Hambatan-hambatan seperti ini harus juga dihitung dengan cermat, karena nyawa taruhannya.

Maka PLN bersama dengan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cenderawasih, LAPAN, dan TNI AD mengupayakan jalan keluar lain. Dibentuklah Ekspedisi Papua Terang itu. Setelah program itu jalan, dilanjutkan dengan program 1.000 Renewable Energy for Papua.

EBT dianggap paling tepat untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Karena potensi energi terbarukan melimpah, dan memungkinkan untuk dibuat unit-unit pembangkit kecil di daerah itu. Ditawarkan empat alternatif EBT untuk Papua, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro (PLTP), Tabung Listrik (Talis), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Secara prinsip PLTP menggunakan tenaga air sebagai penggeraknya. Dengan pengkodisian ketinggian, tenaga dorongan air akibat tekanan gravitasi akan menggerakkan turbin penghasil listrik. Dengan teknik khusus, debit air yang kecil bisa menggerakkan turbin. Oleh sebab itu cocok dengan daerah Papua yang memiliki sungai-sungai kecil.

Sementara Talis konsepnya adalah seperti power bank. Pengguna Talis akan menukar tabung mereka secara berkala ke tempat pengisian terdekat, untuk penerangan di rumah mereka. Talis juga bisa digunakan untuk menyalakan perangkat elektronik lainnya. Biasanya, jenis ini cocok untuk daerah perbukitkan dan hutan.

PLTBm lebih tepat digunakan di daerah yang punya banyak sampah organik. Biasanya yang ada perkebunan sawit, tebu atau daerah pertanian. Karena pembangkit jenis ini menggunakan sisa-sisa bahan organik. Limbah yang umumnya sudah tidak diperlukan. Karena pasokan yang dibutuhkan harus bersambung terus, idealnya memang untuk wilayah yang memiliki limbah organik melimpah.

Sedangkan PLTS menggunakan sinar matahari sebagai sumber energinya. Di banyak daerah Papua yang sangat terisolir dan berada di ketinggian, cocok dengan pembangkit ini. Konsep tenaga surya sebelumnya juga telah digunakan dalam bentuk LTSHE. Setiap rumah punya pembangkit mini yang dihubungkan dengan baterai penyimpan.

Menerangi Papua adalah kerja berat. Tapi hal itu harus diwujudkan secepatnya. Karena Papua adalah bagian dari Indonesia. Tidak boleh lagi ada ketimpangan untuk hal-hal dasar. Listrik salah satunya.

PLN telah membuat langkah yang tepat. EBT adalah masa depan dunia, bukan hanya Indonesia. Memfokuskan pembangunan pembangkit baru pada jenis EBT telah turut membantu menjaga kondisi planet yang sama-sama kita huni. Untuk bumi yang lebih baik.

Bayu Geni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun