Listrik merupakan kebutuhan pokok masyarakat modern. Tanpa itu, hampir seluruh aktifitas berhenti. Piranti peralatan modern tidak akan bekerja. Sarana penunjang jadi tak berguna. Oleh sebab itu, setiap bangsa di dunia berupaya memenuhi kebutuhan listriknya dengan berbagai sumber energi yang ada.
Indonesia juga melakukan hal sama. Meskipun mayoritas bahan bakar sumber energi listrik kita masih tergantung pada batu bara, hingga lebih dari 60%.
Dalam peta jalan Kebijakan Energi Nasional (KEN) disebutkan, pemanfaatan batu bara dalam bauran energi nasional ditargetkan sekitar 30 persen pada 2025, dan turun menjadi hanya 25 persen pada 2050.
Meski memang berat untuk berpindah, namun PLN terus berupaya mengoptimalkan pengoperasian pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Rencana penggantian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara menjadi pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan adalah sebuah langkah yang sangat baik.
Bahkan PLN menekankan upaya untuk meningkatkan porsi EBT hingga 23% pada 2025 mendatang. Ini sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Paris Agreement yang telah disepakati Pemerintah beberapa waktu lalu.
Hingga Oktober 2019, PLN mengklaim telah membangun pembangkit EBT dengan total kapasitas 7.435 megawatt (MW) atau 12,1 persen dari total bauran energi seluruh pembangkit Indonesia.
Mengenai capaian pembangkit EBT sebesar 12,1 persen dari total bauran energi pembangkit, terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 4.711 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 1.979 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 58 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 131 MW, Pembangkit Listik Tenaga Mini Hidro (PLTM) 385 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bio mass dan Sampah (PLT Bio/Sa) 171 MW.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019-2028, bauran energi tahun 2025 akan menjadi 54,6 persen batubara, 22 persen gas alam (termasuk LNG), 23 persen EBT dan 0,4 persen BBM. Komposisi ini sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan EBT dan gas, sambil mengurangi pemakaian BBM.
Untuk mencapai target bauran energi EBT 23 persen diperlukan penambahan kapasitas pembangkit EBT hingga 16,7 GW. Pembangunan pembangkit EBT ini tersebar di seluruh Indonesia, seperti tertuang dalam RUPTL 2019-2028.
Di tahun 2019 diperkirakan terdapat tambahan pembangkit EBT sebesar 481 MW. Berasal dari 27 proyek yang tersebar dari Sumatera sampai dengan Papua. Capaian ini merupakan yang tertinggi dibandingkan pencapaian dalam lima tahun terakhir.
Hingga kini, ada sekitar 156 proyek EBT yang sudah dilakukan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Total kapasitas proyek tersebut mencapai 3.259 MW, yang didominasi oleh pembangkit hidro dan panas bumi.
PLN juga sedang melakukan proses pengadaan pembangkit EBT lainnya, seperti PLTS Bali Barat (25 MW), PLTS Bali Timur (25 MW) dan PLTS Cirata (145 MW). Selain itu, untuk mendukung program Pemerintah mengurangi sampah, telah ditandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) PLTSa Jatibarang di Semarang dan PLTSa Sunter di Jakarta Utara.
Berbagai pencapaian dan pembangunan pembangkit EBT ini menjadi bukti komitmen PLN dalam mengembangkan energi hijau ramah lingkungan, dalam penyediaan tenaga listrik untuk masyarakat. Ini adalah kabar baik bagi Indonesia. Karena EBT adalah wajah baru pembangkit listrik dunia.
Indonesia mesti ikut andil dalam menciptakan masa depan yang ramah lingkungan. Peradaban memang harus terus dibangun dengan berbagai terknologi, tapi tidak boleh mengorbankan alam. Pembangkit listrik berbahan bakar fosil adalah sejarah masa lalu yang secepatnya perlu ditinggalkan.
Bayu Geni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H