Mohon tunggu...
Bayu Gawtama
Bayu Gawtama Mohon Tunggu... wiraswasta -

Life-Sharer - School of Life

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Mungkin Ada) Surga di Secangkir Kopi

29 September 2013   12:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopinya biasa, sama dengan merek kopi yang biasa diminum, air panas pun dimana tempat sama, kekentalannya bisa dibuat sama, takaran gula bisa disesuaikan dengan selera, bahkan cara mengaduk serta hitungan adukkan pun bisa dijiplak sama persis. Namun kenapa rasa secangkir kopi bisa berbeda jika berbeda orang yang meraciknya?

Mungkin saja ini terlalu subyektif, tapi saya yakin tidak sedikit yang merasakan hal demikian. Kita senang jika yang membuatkan kopi adalah orang-orang yang memang membubuhkan cinta dalam racikannya. Tak selalu orang yang selama ini dekat dan membersamai kehidupan kita seperti isteri atau suami. Orang-orang ini bisa saja pembantu rumah tangga, office boy di kantor kita bekerja, atau sahabat perjalanan yang benar-benar mengenal kita luar dalam, dia tahu cara memberikan –apapun- yang terbaik untuk sahabatnya, terlebih hanya secangkir kopi.

Ikhlas dalam melayani dan memberi. Saya benar-benar tengah belajar untuk bisa melakukan yang terbaik dalam hal ini. Orang yang sedang saya jadikan guru adalah salah seorang office boy di kantor. Sebab, bukan cuma saya yang senang dengan kopi atau teh sajiannya, bisa dibilang semua orang di kantor, bahkan para tamu memujinya.

Kalau ada yang bilang, ya tentu saja sebagai OB, dia akan melayani semua orang di kantor karena memang itu tugasnya. Tapi, OB di kantor bukan cuma satu kan? Anda yang bekerja di sebuah perusahaan dan memiliki beberapa OB, kadang memilih untuk dibuatkan kopi atau teh oleh orang yang menurut Anda “pas” racikannya. Lagi-lagi, bukan karena jenis kopinya, tapi “sesuatu” yang tersaji indah di dalam jiwa si peracik kopi.

Tentu saja bukan sedang belajar membuat kopi senikmat racikannya, namun yang dimaksud adalah belajar memiliki jiwa yang indah karena keikhlasan dalam melayani dan memberi. Melayani orang lain itu bukan cuma dilakukan oleh seorang office boy, pembantu rumah tangga atau siapapun orang yang posisinya dianggap dibawah. Sebagai suami, kita melayani seluruh anggota keluarga, sebagai isteripun demikian. Sebagai pimpinan perusahaan, kita pun melayani seluruh staf yang ada di perusahaan, meskipun ia pemimpin tertinggi. Sebagai Kepala Desa, melayani warga di desanya, dan sebagai Kepala Negara, ia melayani rakyat.

Ada hukum timbal balik yang kita yakini masih berlaku. Anda berbuat baik kepada semua orang, orang pun akan berbuat baik kepada Anda, meski tetap ada yang sebaliknya. Kita mencintai orang lain, balasan cinta pun akan kita dapatkan. Sayangi seluruh makhluk di muka bumi, maka bumi dan seisinya akan menyayangi kita. Begitu juga sebaliknya jika kita membenci, merusak dan membuat orang lain tak nyaman.

Seseorang yang ingin mendapatkan penghargaan dari orang lain, harus pula pandai menghargai. Yang ingin dihormati, harus bisa terlebih dulu menghormati. Mereka yang ingin diberi, harus lebih banyak memberi. Siapapun yang ingin dicintai, harus memantaskan diri untuk dicintai. Berikan yang terbaik untuk orang lain, maka yang terbaik pula yang akan kembali kepada kita.

Bermula dari secangkir kopi yang tersaji nikmat dari racikan jiwa yang indah, boleh jadi keridhaan Allah berasal dari sini. Bukankah surga Allah pun atas dasar keridhaan-Nya? Wallahu ‘a’lam (Gaw)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun