"Dunia," kata Gandhi pada suatu ketika, "menyediakan semua kebutuhan manusia, tapi tidak keserakahan manusia." Dan Joseph Eugene Stiglitz, tampak ingin membuktikan ucapan Gandhi tersebut dengan berkeliling dunia.
Tapi Joseph Stiglitz "hanyalah" seorang profesor ekonomi dan peraih Nobel bidang Ekonomi dari Amerika Serikat. Adakah hal menarik dalam mengikuti perjalanan keliling dunia seorang warga dari negara yang dicap sebagai sumber keserakahan? Seorang sutradara bernama Jacques Sarasain mencoba menjawab dengan sebuah film dokumenter: Around The World with Joseph Stiglitz (2009).
Dalam film berdurasi 88 menit ini, Sarasin berusaha mengeksplorasi keresahan Stiglitz terhadap globalisasi yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Globalisasi, bagi Stiglitz, selalu menguntungkan negara maju dan merugikan negara berkembang--bila kita enggan menyebutnya negara miskin.
Dari Ekuador, Stiglitz memperlihatkan bahwa kekayaan alam sering kali hanya menguntungkan pemilik modal besar. Ironisnya, dengan kebijakan pemerintah yang salah, malah hanya menimbulkan kesengsaraan masyarakat setempat. Dalam hal ini, Stiglitz memotret kegiatan pertambangan yang dilakukan perusahaan Texaco dengan keuntungan besar yang diperoleh, sedangkan masyarakat sekitar pertambangan menjadi korban dari "natural resources curse": Kutukan akibat kekayaan alam, karena pencemaran lingkungan dan eksploitasi, tanpa pernah menikmati kekayaan alamnya yang melimpah.
Di sebuah negara kecil di Afrika bernama Botswana, Stiglitz memperlihatkan kekayaan alam malah menyebabkan penduduk sekitar diusir dari tanah leluhurnya. Dengan dalih penambangan berlian pemerintah setempat meminta penduduknya mengosongkan wilayah pada radius lima kilometer. Dengan dalih konservasi alam liar, penduduk setempat malah harus meninggalkan pohon-pohon yang padahal telah dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur dan moyang mereka.
Lain lagi dengan yang terjadi di India. Penduduk suatu desa sampai dijerat kemiskinan yang menyebabkan mereka berkorban untuk menjual ginjal, parahnya, secara massal. Ironisnya, ini bukan disebabkan gagalnya panen kapas yang menjadi pencaharian. Malahan mereka harus menumpuk kapas hingga dalam rumah, karena kapasnya hanya laku dijual dengan harga murah. Penyebabnya: subsidi terhadap petani kapas di Amerika Serikat menyebabkan pasokan kapas dunia dari Amerika melimpah, harga kapas di India jatuh.
Menariknya, Stiglitz memulai keliling dunia yang nestapa akibat globalisasi ini dari kota asalnya: Gary, Indiana, Amerika Serikat. Ketika masih menjadi pusat industri baja, Gary bersolek menjadi kota yang cantik. Namun setelah industri jatuh, Gary pun terlihat renta dan hanya menjadi kota penuh reruntuhan, meninggalkan kecantikan masa lalunya. Sampai ketika pengusaha baja asal India bernama Mittal datang, Gary pun berusaha bangkit.
Sarasin melakukan sejumlah adegan puitis dengan perenungan Stiglitz di tengah reruntuhan Gary. Gambar ini seolah mengungkapkan keresahan Stiglitz: "Hei, bahkan Amerika pun korban dari globalisasi."
Perjalanan Stiglitz keliling dunia tentu tidak semenarik perjalanan Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, Around the World in 80 Days. Petualangan Stiglitz pun kalah seru dibandingkan yang dilakukan Indiana Jones atau Lara croft.
Di film ini Stiglitz berusaha menularkan kegelisahan: Bagaimana agar globalisasi bekerja.
Sebagai sebuah film, tentu ini bukan sebuah aksi yang melahirkan solusi. Namun, tentu yang dilakukan Stiglitz menjadi sebuah pemicu aksi terciptanya masa depan yang lebih baik, terutama untuk para pengambil kebijakan.