Kebutuhan primer manusia terdiri dari sandang, pangan dan papan. Pemenuhan ketiga kebutuhan primer menjadi syarat mutlak untuk mendapat kehidupan yang layak sebagai warga negara.
Khusus untuk kebutuhan papan atau hunian, setiap warga negara berhak mempunyai tempat tinggal yang layak. Kategori hunian yang layak bukan hanya sebagai tempat berteduh yang bisa melindungi penghuni dari terik panas dan hujan saja.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Â dari 38 provinsi di Indonesia jumlah keseluruhan rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak (skala) provinsi sekitar 65,25%
Adapun ketegori hunian yang layak menurut SDGs atau Sustainable Development Goals yang disepakati 193 negara anggota PBB pada tahun 2015 adalah sebuah tempat tinggal dimana penghuninya dapat bertumbuh dengan syarat; ketahanan bangunan, kecukupan luas tempat tinggal, akses air minum layak, akses sanitasi layak, dan keamanan bermukim.
Sayangnya tidak semua orang mempunyai akses mudah untuk bisa mendapatkan kebutuhan primer papan secara layak.
Sebagian besar orang dengan usia produktif, sampai hari ini  masih belum bisa mendapatkan hunian yang layak sebagai tempat tinggal.
Salah satu penyebab adalah ketimpangan antara daya beli yang bersumber dari pendapatan  bulanan dan harga tanah berikut huniannya.
Bagi pekerja dengan gaji UMR akan merasakan sulitnya menyisihkan pendapatan untuk memiliki rumah.
Harga tanah yang terus meroket akibat inflasi dan kondisi perekonomian dunia membuat impian memiliki hunian sendiri "bagai pungguk merindukan bulan."
Hal ini terjadi pada sepupu saya yang masih tinggal dalam rumah kontrakan selama belasan tahun. Pendapatan bulanan yang sebatas UMR ibukota hanya mampu mencukupi kebutuhan harian bersama keluarga kecilnya.