Mohon tunggu...
Bayu Fahrezi
Bayu Fahrezi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

The best or nothink-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perang Dagang Amerika Vs China dalam perspektif Neo-Liberalisme

8 November 2022   21:43 Diperbarui: 17 November 2022   10:29 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendapatan per kapita Amerika adalah pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Amerika Serikat adalah produsen minyak terbesar ketiga dan produsen gas alam terbesar kedua di dunia. Sedangkan China sendiri memiliki PDB per kapita yang mencapai US$12,24 triliun pada 2017 di bawah Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai negara yang menganut paham liberalisme jelas meyakini bahwa perdagangan bebas merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuannya, salah satunya melalui kerjasama. Pada dasarnya, kerjasama harus mengarah pada hasil yang akan diperoleh oleh negara-negara yang terlibat. Kerjasama internasional harus melibatkan dua atau lebih aktor. Pemahaman tentang adanya kepentingan bersama digunakan sebagai dasar kerjasama internasional

Menurut kaum liberal, penggunaan instrumen militer (hard power) tidak lagi penting di era modern ini sehingga kerjasama antar negara akan menjadi perhatian global, meskipun sebelumnya dianggap tidak mungkin. Fenomena ini memperkuat cara pandang kaum liberal yang berpandangan positif tentang hakikat manusia. Sebagai salah satu teori utama hubungan internasional, liberalisme percaya bahwa kebebasan, kerja sama, dan perdamaian membawa orang untuk maju di dunia internasional sehingga perang dapat dihindari. Namun karena dianggap terlalu idealis, teori ini memperbaiki diri ke arah yang lebih modern dan disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga dapat lebih diterima dunia secara luas dan meninggalkan kesan imajiner. Istilah neoliberalisme kemudian muncul sebagai pendekatan liberal yang diperbarui dengan menggunakan ide-ide dari kaum liberal klasik (Jackson & Sorensen, 2013).

Neoliberalisme sendiri dianggap sebagai teori yang lebih kuat dari pendahulunya, yaitu liberalisme. Cakupan neoliberalisme juga meluas, yakni mengenai keamanan, kesejahteraan, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Teori neoliberalisme erat kaitannya dengan kerjasama internasional yang ditandai dengan saling ketergantungan yang kompleks, karena ada banyak bentuk hubungan antara orang-orang selain pemerintah. Neoliberalisme mengangkat tema tentang keberadaan organisasi internasional dan kerjasama berbasis ekonomi (Martin, 2007).

Dalam kajian kerjasama internasional, fokus utama neoliberalisme adalah ekonomi politik internasional dan isu lingkungan. Terlihat bahwa neoliberalisme sangat dekat dengan praktik ekonomi politik yang membawa kemakmuran bagi negara (Thompson, 2015). Kerja sama internasional dipilih kalangan neoliberalis karena dianggap lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan tidak akan setinggi penggunaan instrumen militer yang berpotensi menimbulkan kerusakan tambahan (Powell, 1991). Tradisi liberal dalam The Rise of Trading States menyatakan bahwa sistem ekonomi terbuka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, tanpa harus melibatkan instrumen militer (Rosecrance, 1986). Ketika ekonomi tumbuh, seluruh negara akan diuntungkan, sehingga kerjasama sangat dibutuhkan, terutama di bidang ekonomi. China menjadi salah satu rival Amerika Serikat dalam mewujudkan keinginan tersebut, mengingat pesatnya kemajuan yang dialami China saat ini. Hal ini membuat kedua negara dikenal sebagai negara great power, terutama dalam konteks kapasitas militer dan kemampuan ekonomi yang sangat kuat. Di bidang militer, Amerika Serikat menghabiskan setidaknya US$ 610 miliar, sedangkan China hanya US$ 228 miliar (Forces.eu, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih menjadi yang terbaik dalam bidang militer, sehingga kepedulian Amerika Serikat terhadap China dianggap tidak perlu.

Namun, di bidang ekonomi, AS merasa terancam oleh China. Dalam sejarahnya, AS mendapat predikat sebagai negara dengan ekonomi terkuat selama 140 tahun. Namun predikat tersebut terancam dengan kehadiran China, karena pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China tumbuh lebih tinggi dibandingkan AS (Desjardin, 2015). Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump memiliki kebijakan yang berorientasi pada pengembangan ekonominya di bidang perdagangan. Oleh karena itu Amerika Serikat tidak akan segan-segan menyingkirkan apapun yang dirasanya akan menghalangi tujuannya. Di sisi lain, masuknya China sebagai anggota WTO membuat China membuka diri dan memperluas perekonomiannya dengan melakukan perdagangan internasional. Seiring berjalannya waktu perekonomian China mulai menanjak dan sangat berdampak pada kemajuan di bidang lainnya sehingga semakin memperkuat posisi China di dunia internasional, hal ini tentu saja membuat Amerika merasa bahwa China akan mengancam pengaruhnya dalam perekonomian dunia. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai pemicu pecahnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Perang dagang didefinisikan sebagai situasi di mana suatu negara atau wilayah berusaha untuk merusak perdagangan satu sama lain. Dalam situasi ini, yang dianggap merugikan, kemudian langkah tersebut biasanya mendorong negara lain tersebut untuk merespon dengan tindakan balasan. Kebijakan yang sering digunakan dalam situasi ini biasanya berupa pemberlakuan kuota impor, menaikkan tarif bea masuk, membatasi investasi, memotong atau memanipulasi mata uang negara lain untuk menghindari barang asing dan melindungi perusahaan lokal.

Ada beberapa penyebab perang dagang antara Amerika Serikat dan China, di antaranya. Perang dagang ini bermula ketika Presiden Donald Trump memutuskan dan menandatangani kebijakan kenaikan tarif barang dari China yaitu baja sebesar 25% dan untuk aluminium 10%. (Marrison, 2019). Presiden Donald Trump merasa bahwa globalisasi saat ini bekerja melawan Amerika Serikat. Praktik perdagangan internasional yang dilakukan China dengan mitra dagang lainnya juga dinilai tidak adil. Hal ini karena China terus mengalami surplus dan meraup keuntungan terbesar (CNN Indonesia, 2018). Oleh karena itu, sebagai wujud pemenuhan janji Presiden Donald Trump untuk mengurangi defisit, dilakukan peningkatan pembatasan impor dengan realisasi kebijakan sebagai berikut.

  • Pengenaan bea masuk impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminum
  • Mengenakan tarif tambahan 25%untuk produk teknologi China

Ada 2 negara penyumbang defisit barang terbesar Amerika Serikat di tahun 2017, salah satunya China. Seiring berjalannya waktu, intensitas perdagangan kedua negara semakin intens dan besar, hal ini juga dikarenakan Amerika Serikat membutuhkan barang murah untuk bahan produksi. Namun, perdagangan dengan China secara bertahap meningkatkan defisit perdagangan AS, dan China adalah penyumbang nomor satu defisit perdagangan barang AS. Amerika Serikat sendiri berupaya menekan defisit perdagangannya dengan China yang naik menjadi US$ 375,2 miliar pada 2017 dari US$ 347 miliar pada 2016.

Sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China pada 2013 sebesar US$ 319 miliar; pada tahun 2014 naik menjadi US$ 345 miliar; pada tahun 2015 meningkat menjadi US$ 367 miliar; dan pada tahun 2016 defisit perdagangan dapat ditekan menjadi US$ 347 miliar; Namun, pada tahun pertama Presiden Donald Trump, defisit perdagangan kembali naik menjadi US$ 375 miliar (Marrison, 2018). Amerika Serikat sendiri telah berusaha untuk mengurangi defisit perdagangannya dengan China, yang naik menjadi US$ 375,2 miliar pada tahun 2017 dari US$ 347 miliar pada 2016. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China pada 2013 sebesar US$ 319 miliar; pada tahun 2014 naik menjadi US$ 345 miliar; pada tahun 2015 meningkat menjadi US$ 367 miliar; dan pada tahun 2016 defisit perdagangan dapat ditekan menjadi US$ 347 miliar; namun, pada tahun pertama Presiden Donald Trump, defisit perdagangan naik lagi menjadi US$ 375 miliar (Marrison, 2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun