Politik identitas menjadi semakin dominan di era digital saat ini, terutama dengan kekuatan media sosial yang begitu besar dalam membentuk opini publik. Instagram, Facebook, dan Twitter telah menjadi alat penting bagi politisi dan kelompok politik untuk menyebarkan pesan yang menekankan identitas kelompok seperti ideologi, agama, atau etnis. Akibatnya, ikatan identitas yang dibangun dan diperkuat melalui interaksi di dunia maya menjadi lebih penting saat memilih politik daripada masalah kebijakan.
Selain itu, cara kita memahami dan menanggapi informasi politik dipengaruhi oleh media sosial. Masyarakat cenderung terjebak dalam "ruang gema" yang memperkuat keyakinan mereka sendiri karena penyebaran informasi yang begitu cepat dan algoritma yang cenderung menampilkan konten sesuai dengan preferensi pengguna.
1. Penyebaran Informasi yang Cepat dan Berfokus pada Kelompok Tertentu
Media sosial memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat dan dapat disesuaikan untuk menjangkau kelompok tertentu. Algoritma yang ada di platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram dirancang untuk menampilkan konten yang sesuai dengan minat dan preferensi pengguna. Ini memungkinkan politisi atau kelompok kepentingan untuk menyampaikan pesan yang menekankan identitas kelompok tertentu, seperti agama, etnis, atau budaya. Akibatnya, pesan politik dapat dikemas untuk memicu resonansi emosional yang lebih kuat di antara kelompok sasaran.
Selain itu, politisi dapat memanfaatkan media sosial untuk segmentasi audiens dan menyampaikan pesan yang berbeda kepada berbagai kelompok pemilih berdasarkan data demografis dan perilaku online yang mereka tunjukkan. Strategi ini, yang sering disebut sebagai "mikro-targeting", memungkinkan kampanye politik untuk memperkuat politik identitas dengan menyesuaikan pesan mereka untuk memenuhi kebutuhan dan kekhawatiran unik setiap kelompok. Karena konten yang mereka lihat seringkali mengkonfirmasi bias atau pandangan awal mereka, pemilih cenderung lebih terpolarisasi.
Dalam politik identitas, memberi tahu kelompok tertentu dengan cepat dapat meningkatkan kecenderungan untuk mengabaikan perbedaan dan memperkuat ikatan kelompok. Hal ini dapat menyebabkan sikap eksklusif, di mana orang memiliki ikatan yang lebih kuat dengan kelompok mereka sendiri dan cenderung melihat orang lain sebagai "lawan". Akibatnya, politik menjadi lebih tentang identitas daripada kebijakan, mengurangi kesempatan untuk pertimbangan logis dan kesepakatan.
Pembentukan Komunitas dan Polarisasi Politik
Komunitas berbasis identitas terbentuk setelah media sosial menjadi tempat di mana orang-orang dengan pandangan politik yang sama berkumpul. Pengguna sering terpapar pada konten yang mendukung keyakinan dan perspektif mereka sendiri di platform ini, sementara perspektif yang berbeda sering diabaikan atau disingkirkan oleh algoritma. Akibatnya, politik identitas memperkuat dan memperdalam perbedaan antara kelompok masyarakat. Ini menciptakan polarisasi, yang mengurangi kesempatan untuk diskusi lintas identitas yang terbuka.