Tak dapat dipungkiri kehadiran Kompasiana dalam dunia media digital seakan memberikan wadah bagi masyarakat dari segala latar belakang profesi maupun disiplin ilmu dalam melakukan aktivitas jurnalistik. Seperti halnya konsep sebuah jurnalisme warga yang didasarkan dari peran aktif warga masyarakat dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa maupun menyebarkan berita dan informasi.
Saya sendiri baru mengenal kompasiana mulai akhir tahun 2014. Walaupun tidak bisa dibilang sering, namun beberapa kali saya membaca artikel-artikel yang dimuat Kompasiana. Melalui Kompasiana jugalah saya mengenal apa itu jurnalisme warga. Menurut saya, kompasiana semacam Blog pribadi namun artikel yang ditulis disajikan layaknya portal berita digital, sehingga sebagai seorang penulis di Kompasiana, atau biasa disebut Kompasianer sudah tentu akan mendapatkan garansi bahwa akan ada pembaca yang akan membaca artikel yang telah kita tulis.
Kedekatan saya dengan kompasiana semakin terjalin hangat walaupun tidak sampai panas pada saat saya mengikuti kegiatan Communcation Apprentice Program yang diselenggarakan PLN bekerjasama dengan Kompasiana pada medio April tahun 2016. Saya juga akhirnya mengetahui dari sang Content Editor Kompasiana, Nurulloh, bahwa dahulu Kompasiana merupakan portal blog internal yang berisi artikel hasil tulisan dari wartawan Kompas dan hanya dapat diakses oleh internal Kompas.
Karena keikutsertaan saya dalam kegiatan Kompasiana Visit Singapore bareng PLN ini saya kembali mengenal cita rasa portal berita Citizen Journalism ala negara tetangga, Singapura yang bernama Stomp. Media ini masih mempunyai hubungan darah dengan Singapore Press Holdings (SPH), karena media ini sendiri merupakan salah satu unit bisnis media digital yang dikelola dibawah naungan SPH.
Perkenalan saya dengan Stomp terjadi pada Selasa (30/8). Pagi itu saya bersama rombongan dari PLN dan Kompasiana bertandang ke markas besar Stomp yang bertempat di gedung lantai 3 SPH di kawasan Toa Payoh. Kedatangan kami disambut hangat oleh sang Editor Stomp, Azhar Kasman.
Setelah Azhar menjelaskan bagaimana Stomp memproduksi sebuah berita sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat, ternayata kesimpulan saya salah, Stomp tidak sama dengan Kompasiana. Sekilas tampak sama, Stomp tidak memiliki wartawan layaknya Kompasiana (Walaupun sekarang yang saya tahu Kompasiana sudah memiliki dua orang wartawan), Stomp memproduksi konten berita dari informasi yang dikirimkan oleh masyarakat, baik melalui email, sms maupun melalui WhatsApp yang kemudian informasi tersebut akan diklarifikasi dahulu oleh tim pengelola konten Stomp sebelum kemudian akan ditulis menjadi sebuah berita. Jadi boleh dibilang hasil artikel di Stomp merupakan tulisan dari pengelola konten dari Stomp, bukan tulisan asli dari masyarakat. Masyarakat hanya bertindak sebagai penyuplai informasi utama atau boleh dibilang sebagai narasumber.
Hal tersebut tentunya berbeda dengan Kompasiana, dimana artikel yang ditayangkan di Kompasiana merupakan tulisan asli dari Kompasianer, tanpa ada campur tangan dari pengelola konten dari Kompasiana. Nurulloh sebagai pengelola konten di Kompasiana juga mengatakan bahwa Kompasianer bertanggung jawab penuh terhadap semua artikel yang ditayangkan sesuai dengan ketentuan konten yang telah diatur oleh Kompasiana.
Untuk setiap divisi yang ada di Stomp, saya rasa sama dengan Kompasiana, selain divisi konten, ada juga divisi yang khusus mengelola konten dan pemasaran untuk urusan bisnis. Namun yang menjadi menarik adalah divisi pengelolaan konten di Stomp wajib melakukan verifikasi informasi yang dikirimkan oleh masyarakat dan menggali informasi lebih mendalam sebelum menjadi sebuah berita yang layak tayang di halaman Stomp. Karena proses yang lumayang panjang tersebut mengapa berita yang ditayangkan Stomp setiap hari tidak lebih dari 20 artikel berita.
Re-Writing News boleh jadi konsep yang pas untuk Stomp, dan menurut saya hal tersebut tidaklah murni sebagai konsep jurnalisme warga, dimana seorang warga mendapatkan kendali penuh dari data yang kemudian akan diolah dan disajikan dalam bentuk tulisan sampai ke penyebaran informasinya.
Saya rasa salah satu yang menyebabkan Stomp tidak benar-benar murni tulisan warga adalah kebebasan pers atau kebebasan berpendapat di Singapura tidaklah sama dengan Indonesia. Media di sana tidak bisa bebas berbicara, khususnya mengenai politik atau pemerintahan. Berbeda dengan Indonesia, dimana orang pun dapat dengan mudahnya menyampaikan pendapat baik itu pedas, manis atau bahkan asin melalui media digital. "Di Singapura, kami harus mengatur bahasa dan konten tulisan, itulah mengapa kami harus memverifikasi dan menulis berita dengan sangat hati-hati, salah sedikit panjang urusannya" ujar Azhar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H