Debate campaigns are campaigns of communication and that the core of each campaign is communication (Trent and Friendenberg, 1983)
Gempita pesta demokrasi pemilukada (kepala daerah) mulai tampak geliat. Akhir tahun pesta demokrasi ini menjadi hajad rakyat Indonesia yang diartikulasikan dalam hiruk-pikuk panggung kampanye. Pada konteks masyarakat (grass-root), kampanye sering di interpretasikan sebagai aksi jalanan pawai motor, pertunjukan hiburan, maupun pidato berapi-api dari tim juru kampanye (jurkam) penuh agitasi, propaganda, dan ledekan-ledekan sinis menyinggung kontestan lain.
Diakui bahwa cara-cara demikian, akan mengikis makna kampanye karena realitas lapangan tidak sesuai dengan tujuan kampanye. Benar adanya bahwa kampanye kini, hanya sebatas ungkapan euforia an sich, namun dangkal dan minim ruang dialektika untuk mentransformasi ide dan wacana kebangsaan. Keberadaan debat pun memperoleh pembenarnnya, bahwa debat sebagai arena tanding wacana, juga berperan dalam mendewasakan pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan visi-misi kebangsaan calon kandidat, bukan didasarkan pada alasan semu berdasarkan perspektif SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan)
Debat adalah aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, preferensi, sikap, dan pandangan (perspektif) sesuai dengan kehendak penyebar informasi. Pada konteks komunikasi politik, Debate are aimed at the mobilization of support for one’s cause of candidate (Steven Chafee dalam Rice, 1981). Unsur mobilisasi massa dalam debat politik dimaksudkan untuk menarik simpati pemilih melalui penerimaan terhadap ide dan gagasan pengusung.
Belum usang ingatan kita, adu argumentasi diantara dua calon presiden beberapa waktu lalu, meskipun tidak ditemani tandem wakil calon presiden, keduanya (baik Jokowi maupun Prabowo) terlihat tidak canggung untuk menyampaikan perihal visi-misi, ditambah keakrabahan keduanya ketika saling bersalaman di saat debat masih berlangsung, dimana aksi tersebut terbilang langka dan unik dalam sebuah debat presiden. Proporsi ajang debat pun terkesan “mencari aman” diantara kedua calon, artinya tiap kandidat tidak secara penuh “menyerang” tokoh lain dengan harapan tidak menerima “serangan belasan”. Pernyataan Prabowo, dengan lugas mendukung program Jokowi di bidang Ekonomi kreatif merupakan langkah berani untuk menerabas nasehat tim debat dari pihak koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta agar selalu menarik garis emarkasi perbedaan dengan lawan debat.
Bandingkan debat antara Clinton dengan Bob Dole pada tahun 1996, di San Louis, Obispor. Topik persoalan jarak usia yang terpaut cukup jauh, dimana Dole telah memasuki usia (73), terbilang uzur untuk menjadi presiden dapat dielaborasikan oleh Clinton sebagai amunisi untuk menyerang Dole, ia menyindir dengan kata-kata “saya hanya dapat mengatakan kepada anda bahwa saya tidak berpendapat Senator Dole terlalu tua untuk menjadi presiden, tetapi yang tua adalah gagasan-gagasannya”. Disini Clinton dengan cerdas menyudutkan Dole yang telah berumur “apakah kita akan membangun jembatan ke masa depan atau jembatan ke masa lalu”. Dole pun menapiknya dengan menanyakan Clinton apakah rakyat AS kehidupannya telah meningkat selamat empat tahun kepemipinannya (periode kepemimpinan pertama Clinton dari 1992-1996), dijawab oleh Clinton “ya” tetapi dengan cepat ditimpali oleh Dole bahwa keadaan (Clinton) memang lebih baik sebagai presiden.
Perencanaan debat yang matang, tentunya sebagai media kampanye efektif dalam menjaring pemilih, khususnya bagi pemilih yang belum menentukan sikap (Swing Voters), disamping akan semakin mengkokohkan preferensi simpatisan. Nimmo dan Thomas Ungs (1973) memaparkan bahwa kampanye melalui medium debat harus melalui tiga fase, (1) fase pengorganisasian/organizing phase; (2) fase pengujian/testing phase; dan (3) fase kritis/critical phase. Fase Pengorganisasian menjadi fase awal untuk menentukan strategi tema, topik, serta informasi opsional. Fase ini dapat dikatakan sebagai tahapan perencanaan debat yang berisikan segala bentuk alokasi sumber daya komunikasi untuk dijadikan topik mendasar pada saat berlangsungnya debat.
Fase pengujian/testing phase merupakan fase untuk menakar kemampuan kandidat dalam mengantisipasi serangan kompetitor, menyikapi persoalan tidak terduga (unpredictable questions), dan sikap tubuh serta tatanan pengucapan kata pada saat menyampaikan ide/orasi. Terakhir fase kritis/critical phase, fase ini memegang peranan penting guna menjadi acuan dan tolak ukur menilai integritas, kompetensi, dan kapasitas kandidat ketika debat. Fase kritis adalah fase dimana calon mencapai titik puncak untuk menangapi materi penyampaian serta pertanyaan kompetitor. Sesungguhnya setiap pertanyaan kompetitor adalah bagian dari memberi nilai plus bagi kandidat yang mampu menjawabnya dengan baik, sekaligus sebagai stimulus untuk memberikan penilaian negatif terhadap kompetitor yang memberikan pertanyaan.
Hal ini dapat dibuktikan pada saat berlangsungnya debat calon presiden AS antara Obama dengan McCain, dimana McCain menanyakan kepada Obama langkah-langkah revolutif untuk menyelesaikan krisis keuangan yang menimpa AS pada tahun 2008. Obama pun mengusulkan pengurangan pajak harus dikenakan kepada golongan menengah ke bawah yang lebih berhak mendapatkannya, bukan sebagaimana keinginan McCain dengan langkah pengurangan pajak bagi kaum elite (kaya). Jawaban antisipatif Obama dapat di nilai sebagai hal cerdas karena selain menambah dukungan pemilih dari kelas masyarakat menengah hingga kelas masyarakat berpendapatan rendah karena dianggap pro-kepentingan rakyat dan ekonomi domestik (79 % dari total jumlah penduduk) juga sekaligus memberikan penilaian negatif terhadap McCain yang dianggap pembela kelompok elite (13 % dari total penduduk) yang diduga sebagai otak dibalik keruntuhan perekonomian AS pada tahun 2008.
Kedalaman memahami persoalan baik teknis (narasi operasional/jangka pendek) maupun tawaran gagasan (narasi grand-design/jangka panjang) adalah keniscayaan untuk dikuasai oleh setiap kandidat, terlepas dari beragam latar belakang. Untuk itulah ajang kampanye melalui debat harus memperhatikan, pertama. Saat debat proporsi penyampaian materi antara tiap calon harus diperhatikan, tampilan kemampuan olah wicara dan pola laku tubuh calon kepala daerah semestinya lebih ditonjolkan untuk memberikan pemahaman pemilih terhadap kualitas dan kapasitas keilmuan calon.
Kedua, Debat harus dijadikan ajang medan tempur penyampaian ide, gagasan, serta tawaran solusi. Setiap pemilih tentu ingin menyaksikan debat berkualitas, dimana masing-masing calon kandidat menguraikan visi-misi serta menarik garis perbedaan yang tegas dengan kandidat lainnya, agar pemilih mempunyai gambaran diferensiasi kelebihan dan kelemahan masing-masing kandidat. Debat harus diwarnai aksi mempertahankan ide dan menentang gagasan lawan dengan rasionalisasi yang dapat diterima pemilih.