Tindakan yang seringkali disebut sebagai pembunuhan ekstra-yudisial (pembunuhan yang dianggap legal dan tanpa sanksi  dari proses hukum yang berlaku) ini tentu saja menuai protes kemanusiaan dari berbagai pihak. Terutama dari lembaga dunia seperti Human Right Watch PBB. Amnesti Internasional, Kongres yang diwakili Senator Leila de Lima, dan pemimpin Katolik seperti Socrates Villegas. Senator Leila de Lima menganggap bahwa metode ekstra-yudisial death squad ala Duarte tidak mewakili poin Konstitusi Filipina. Sedang Socrates Villegas menilai bahwa metode Duarte malah mengubah perilaku generasi pecandu narkoba Filipina menjadi generasi pembunuh jalanan yang dianggapnya lebih menjadi suatu mimpi buruk.Â
Dari pihak Human Right Watch PBB, malah mengancam Duterte bahwa mereka akan mengirim ahli untuk menyelidiki lebih lanjut death squad dan keterlibatan Duterte.  Duterte mengaku tidak peduli dan berbalik mempertanyakan peran PBB yang useless sepanjang terjadinya konflik di Timur Tengah terutama Irak dan Syiria. Dan menurut Duterte, PBB tidak akan turut bertanggungjawab akan kerusakan moral berkelanjutan generasi muda Filipina jika peredaran narkoba di negeri itu terus mengalir dan dibiarkan.
Duterte bahkan mengancam PBB bahwa bisa jadi ia mempertimbangkan keluarnya Filipina dari PBB dan membentuk organisasi lain bersama China dan negara lain termasuk Afrika. Hal yang bisa jadi membawa harmonisasi baru Filipina-China sejak rivalitas panas mereka mengenai nine dashed line  Laut China Selatan pada masa Benigno Aquino III.
Death Squad bentukan Duterte ditengarai merupakan jebolan New Peoples Army, sayap partai kiri Filipina yang diminta langsung oleh Duterte untuk membantunya membasmi para bandar narkoba Filipina dan jaringannya. Death Squad ini tak hanya beranggotakan pria, bahkan perempuan juga direkrut untuk melancarkan operasi Duterte dengan logika bahwa perempuan akan lebih mudah mendekati terduga kriminal dan lebih tidak dicurigai.Â
Anggota Death Squad yang berhasil membunuh satu kepala, akan diganjar imbalan dua puluh ribu peso atau sekitar lima juta rupiah. Jumlah yang diakui termasuk banyak oleh para anggota yang kebanyakan hanya berprofesi sebagai sipil untuk biaya bertahan hidup meski jumlah sedemikian kadang harus dibagi dengan anggota yang lain. Death Squad ditengarai juga mendapatkan kebebasan dan imunitas dari aparat kepolisian dan militer seiring dengan support Duterte sendiri atas langkah pembunuhan gelap yang mereka lakukan.Â
Aparat Filipina juga ditengarai menyokong aksi death squad dengan respons kepada tiap laporan pembunuhan yang diperlambat. Posisi ini membuat musuh anggota death squad hanya satu yakni para bandar narkoba dan kriminal lain di sekelilingnya, yang menurut mereka tak kalah sadis dan menuntut para anggota untuk secara cerdas menyembunyikan dan secepatnya berganti identitas.
Hal ini juga membuktikan bahwa langkah kejam Duterte adalah diikuti oleh kebersihan aparatur negara yang ingin dibuat dan dijunjung Duterte. Death squad Duterte diatur sedemikian rupa olehnya untuk bisa berkorelasi dengan baik seperti pada kepolisian untuk membasmi sesuatu yang telah mengakar kuat dan sulit dibasmi di Filipina yaitu peredaran narkoba. Sesuatu yang mustahil adanya dilakukan tanpa terciptanya sistem aparatur yang bersih dan tanpa kongkalikong terhadap jaringan yang menjadi buruan sendiri.Â
Oleh sebab itu Duterte pernah berujar bahwa "hukum tidak memerintah presiden untuk melindungi pejabat", dan menjamin imunitas anggota kepolisian dan militer atas tuduhan pembunuhan jika mereka melakukan hal tersebut (ekstrayudisial terhadap bandar narkoba dan kriminal). Duterte juga pernah berkata bahwa "percayalah, aku tidak peduli tentang HAM", bersamaan bahwa instruksi masyarakat sipil untuk memerangi pelaku narkoba bahkan kriminal dengan menembak sampai membunuh, adalah berlaku sampai Duterte masih hidup menjabat.
Begitu tegasnya Duterte melawan narkoba dan keinginannya menyelamatkan filipinos dari sesuatu yang membuat hancur hidup mereka yang tak terhitung jumlahnya menurutnya lebih penting daripada hanya "menghitung jumlah korban kriminal yang tewas oleh death squad maupun sipil biasa". Duterte juga mengaku jengah dengan peredaran narkoba di negerinya terutama terhadap sabu-sabu dan zat metamfetamin yang dikandungnya karena berasal dari reaksi kimia.Â
"Enam bulan sampai setahun ketagihan, lalu banyak  pemuda Filipina akan mengalami kerusakan otak setelah mengonsumsinya", ujar sang Punisher pada suatu kesempatan mengacu pada bobroknya mentalitas dan kehancuran hidup banyak pemuda Filipina akibat bahaya peredaran narkoba. Opini dan impresi rakyat Filipina pun terbelah. Antara memuji, atau mencaci Duterte, bagai berusaha memilih stempel penilaian yang pas yaitu malaikat ataukah malah iblis pada sosoknya. Sedang tekanan publik luar mengenai penegakan kemanusiaan tentu masih saja gencar kepada sang presiden.
Bagaimanapun kisah dan aksi yang dilakukan Duterte tentu dimaksudkan sebagai sesuatu yang baik pada keselamatan bangsanya Filipina, terhadap apa yang sering disebut sebagai penghancur generasi mudanya yaitu narkoba. Sesuatu yang terbilang bengis dan semacam "kok bisa gitu ya (?)"  ketika Duterte bahkan membentuk suatu death squad dari sipilnya sendiri yang melakukan aksi petrus (penembakan misterius) dan bahkan telah mempunyai bekal berupa daftar calon korban incarannya. Alasannya simpel, karena menurut Duterte jika memerangi narkoba hanya bergantung via berbagai toleransi dan rehabilitasi tanpa tindakan tegas, mata rantai peredaran narkoba berujung kerusakan moral-mental jutaan generasi muda filipinos tidak akan putus. Duterte ingin membasmi narkotika yang ibarat jamur Filipina, sampai ke akar-akarnya.