Tidak terasa sejak hasil drawing kompetisi terbesar 4 tahunan milik Benua Biru diumumkan pada 13 Desember 2015 di Paris, perlahan kita telah melewati pergantian tahun baru, memasuki bulan Februari, dan ? Euro 2016 tinggal hitungan 126 hari untuk dimulai. Euro 2016 akan mengambil venue di Prancis, membuat turnamen ini seperti suatu deluxe edition daripada venue-venue Euro sebelumnya dan tentu saja sayang untuk dilewatkan.
Membicarakan setiap agenda Euro yang akan berlangsung, tentu kurang lengkap rasanya jika hanya sibuk menunggu tanpa coba menyusun laporan khusus mengenai timnas yang akan berjibaku selama 10 Juni-10 Juli 2016. Terutama suatu ulasan mengenai kandidat juara atau bahkan tim besar atau kecil yang menjadi jagoan kita. Disini saya tidak akan mencoba mengulas seluruh tim, tapi pertama saya akan mencoba merangkai laporan secara khusus tentang tim jagoan saya, Italia.
Italia adalah tim yang dikenal mempunyai tradisi bagus di major tournament seperti Piala Dunia. Sebuah tim besar yang klasik dan punya nama harum dalam gugusan negara-negara jagoan sepakbola. Jika di Piala Dunia saja mereka mampu bablas menjadi juara, sudah barang tentu di turnamen yang juga major tournament namun dengan ruang lingkup yang lebih kecil seperti Euro, Italia selalu masuk prediksi para pundit menjadi salah satu tim penantang gelar. Tapi itu dulu sejak kali terakhir Italia menjadi juara Piala Dunia 2006. Setelah kegagalan Italia di Euro 2008 dan Piala Dunia 2010, Italia seolah mengalami amnesia akan siapa sebenarnya mereka di masa lalu.
Memang benar pada tahun 2012 Italia mampu menembus final Euro yang berlangsung di Polandia-Ukraina. Akan tetapi mereka harus tunduk kepada Spanyol dengan skor yang bisa dibilang aib dan sangat menyakitkan yakni 0-4. Suatu gambaran jelas akan bagaimana negeri sepakbola yang dahulu tersohor karena seni bertahan yang jenius, kini lupa akan seni bermain yang pernah mereka buat sendiri dan mereka perkenalkan ke dunia. Perjalanan menuju final mengalahkan tim besar lain seperti Inggris dan Jerman memang hebat dan sanggup mereka lakukan, tetapi lebih terkesan heroik dan berbau keberuntungan, dan juga bukanlah hasil dari permainan yang sistematis. Kegagalan Italia di fase grup Piala Dunia Afsel 2010 secara memalukan juga harus ditengok kembali walau di tangan pelatih sekelas Marcelo Lippi. Pun, kegagalan Italia yang juga di fase grup pada Piala Dunia Brazil 2014 bersama Cesare Prandelli walau 2 tahun sebelumnya sukses ke final Euro. Italia memang sudah amnesia ..
Menjelang Euro 2016 yang bergengsi karena pelaksanaannya juga di negara rival klasik Italia yaitu Prancis, Italia harus berbenah. Jika tak ingin lebih jauh diolok-olok fans Jerman maupun Spanyol yang negerinya lebih berprestasi di masa sekarang. Bisa jadi juga Prancis akan mengolok mereka juga jika Italia tetap "me-mediokerkan diri". Problem amnesia yang mereka alami juga tak lepas pertama tentu saja dari hilangnya pemahaman pemain Italia masa kini tentang catenaccio. Semenjak Piala Dunia 2006 berlalu, Italia memang masih punya sistem pertahanan kuat tapi tak bisa dibilang setangguh masa itu karena buktinya mereka pun bisa kebobolan 4 gol oleh Spanyol (memang di puncak performa sebenarnya) di fase sekelas final Euro. Maupun kebobolan 3 gol oleh Slovakia di pertandingan penentuan lolos tidaknya mereka di Piala Dunia 2010 Afsel. Untuk kenangan kelam lawan Spanyol, pertahanan mungkin bisa dimaafkan karena Spanyol sedang beringas saat itu. Namun kegagalan berturut-turut di dua fase grup Piala Dunia, patut untuk dipertanyakan.
Hilangnya pemahaman pemain Italia kini tentang catenaccio bisa jadi karena sistem sepakbola moderen yang sudah dianut pemain Italia masa kini. Walaupun bek-bek Italia bermain di klub lokal seperti Bonucci dan Chiellini di Juventus atau De Sciglio dan Santon di Milan dan Inter, sistem permainan moderen di Eropa membuat mereka melupakan sistem ini. Apalagi untuk pemain yang bermain di luar Italia seperti Thiago Motta dan Marco Verratti, sepakbola Prancis dan PSG yang jadi klub mereka bukanlah suatu kultur untuk melatih kemampuan bertahan pemain-pemain tersebut. Turunnya pamor Serie A bisa jadi juga menjadi sebab hilangnya kultur pertahanan ketat, karena tak ada penyerang atau gelandang kelas super yang mengasah kemampuan bertahan bek-bek asli Italia dengan level intensitas tinggi.
Jikalau Thomas Muller atau David Silva bermain di Italia, bisa dimungkinkan para bek Italia akan beradaptasi membentuk sistem pertahanan yang tak hanya kuat dalam duel udara namun juga cepat dan pandai membaca permainan, dan yang terpenting terbiasa untuk menghadapi pemain dengan tingkat inteligensi dipadu akselerasi-skill super seperti itu. Yang menjadi senjata para rival Italia seperti Spanyol dan Jerman adalah pemain-pemain itu bukan? Yang membuat makin parah karena catenaccio saja pemain Italia sudah lupa karena sistem sepakbola moderen, demikian ketika sistem sepakbola moderen mereka anut, tidak semua pemain Italia terbiasa bertahan dalam intensitas tinggi terutama di liga lokal.
Untuk prediksi, harapan akan muncul pada pemain yang terus berkembang di bawah tempaan liga ketat seperti Liga Inggris dalam diri Matteo Darmian atau Angelo Ogbonna. Sistem pertahanan ketat yang diusung masing-masing pelatih klub yang mereka bela (Louis van Gaal/MU) dan (Slaven Bilic/West Ham United) serta menjadikan mereka bagian utama dalam sistem tersebut bisa jadi akan menimbulkan optimisme untuk Timnas Italia. Timnas Italia boleh jadi sempat melupakan catenaccio, namun dengan sosok pelatih seperti Antonio Conte sekarang yang juga pelatih dengan filosofi bertahan yang baik serta kemungkinan akan dipadukannya Darmian-Ogbonna dengan bek tangguh klub lokal macam Chiellini atau Bonucci maka Italia harus lebih percaya diri kali ini. Dan Belgia akan jadi ujian sesungguhnya di grup E nanti.
Regenerasi lambat juga adalah alasan besar mengapa sampai Italia amnesia. Dua pelatih Italia sebelumnya, yakni Marcelo Lippi dan Cesare Prandelli lebih memilih pemain berego bintang dan label klub maupun anak kesayangan daripada pertimbangan konsistensi permainan. Selepas Piala Dunia 2006, Alessandro Del Piero dan Francesco Totti pensiun dan seolah menjadi awal setback bagi Italia. Pengganti mereka adalah pemain seperti Vincenzo Iaquinta maupun Mario Balotelli.
Pemain dengan kualitas bagus namun jauh daripada kata konsisten dan dapat diandalkan, daripada nama yang terkenal bermain penuh dedikasi seperti Del Piero dan Totti. Keputusan Lippi pada Piala Dunia 2010 dengan memanggil barisan uzur seperti Cannavaro, Zambrotta, dan Gattuso adalah sebab utama pertahanan mereka amat keropos karena tentu saja mereka jauh menurun daripada 4 tahun sebelumnya. Keputusan Prandelli menjadikan Balotelli striker utama pada 3 pertandingan fase grup Piala Dunia 2014, juga agak aneh mengingat ada Ciro Immobile yang top skor Serie A saat itu. Namun, Immobile hanya dimainkan sekali sebagai pengganti. Graziano Pelle yang total mencetak 50 gol selama 2 musim (2012-2014) bersama Feyenoord di Liga Belanda malah tidak dilirik.
Kini, Antonio Conte telah menjabat. Melakukan perombakan dan modifikasi pada Italia, lebih tepatnya inilah yang disebut regenerasi. Striker dengan lebih banyak gol di musim yang sama daripada Balotelli seperti Pelle dan Simone Zaza dipanggil. Masuk juga nama pemain muda dengan semangat baru dan potensi besar seperti Domenico Berardi. Pemain lama seperti Alberto Aquilani didepak. Conte telah mengunjungi pusat latihan tim-tim Serie A sebelum mempersiapkan timnas Italia pada laga debut kepelatihannya menghadapi Belanda dan Norwegia dan mengatakan bahwa ia akan memilih pemain yang benar-benar bermain sepenuh hati karena bangga kostum biru Gli Azzurri, bukan yang lain.