Mohon tunggu...
Bayu Sadewo
Bayu Sadewo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Rest assured there is something waiting for you, after a lot of patience that you live, that will make you stunned, until you forget the pain of pain.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Emansipasi Pemikiran R. A Kartini bagi Kaum Etnis Tionghoa

4 Agustus 2022   23:34 Diperbarui: 4 Agustus 2022   23:37 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara dengan berbagai macam budaya dan bahasa, Yang bagaimana pada dasarnya dalam suatu masyarakat disebut multikultural jika menunjukan keragaman dan perbedaan pada Nilai, Ras, Suku Dan Agama. 

Masyarakat Indonesia  memiliki perbedaan agama yang diyakini, agama mayoritas masyarakat indonesia adakah Islam, Kristen, Katholik, Hindu Buddha dan Konghucu. 

Eksistensi enam agama tersebut telah dijamin perlindungannya, agama mampu mensucikan norma dan nilai dalam masyarakat yang sudah dibentuk pada dasarnya. cara setiap orang memahami makna agama memainkan peran penting karena memposisikan dirinya dalam masyarakat terutama dala masyarakat multikurtural dengan agama yang bermacam-macam.

Agama apapun Pasti akan berlomba-lomba mengkalim ajarannya yang paling benar, hal ini terkair dengan kekuatan legitimasi dalam suatu tatanan sosial. 

Menutut Van Den Berg dalam   (Adnan, 2020) Berpendapat bahwa agama sering dilihat sebagai penggerak dan motivator di daerah yang rawan terjadi konflik. selaras dengan hal ini keberadaab orang tionghoa sebagai penduduk asing tetap menjadi permasalahan sebagai kelompok minoritas di indonesia. 

Pada umumnya masyarakat Tionghoa adalah masyarakat agraris, bekerja sebagai petani dan menanam sayuran. mereka mengalami kesulitan dalam mempertahankan identitasnya sebagai agama minoritas, keberadaan masyarakat Tionghoa dalam suatu daerah kerap kali menjadi ancaman.

Salah satu kerusuhan terparah terjadi di surabaya pada Mei 1998, memang sedikit berbeda dengan yang terjadi di jakarta yang telah memakan banyak korban utama etnis Tionghoa tetapi di Surabaya ini tepatnya di daerah Pinggiran seperti semampir, pengirian wonokusumo, sidotopo dan beberapa daerah di surabaya terkena dampak dari kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa tersebut terjadi pada malam hari tanggal 14 mei 1998 hingga hampir subuh diperkirakan sekitar 6-7 truk bergerak menuju wilayah semampir dengan diiringi banyak motor dan penjarahan pun terjadi di toko-toko milik etnis tionghoa. 

Selain itu di sidotopo beberapa daerah surabaya juga mengalami hal serupa seperti penjarahan, bagkan banyak perempuan etnis tionghoa mengalami tindakan kekerasan seksual dengan diperkosa secara bergilir dan disiksa kejadian ini terjadi dalam ruko etnis Tionghoa dan yang paling tragis semua itu dilakukan didepan keluarga mereka.

Dampak kekerasan tersebut yang diterima oleh beberapa etnis Tionghoa perempuan, beberapa juga mengalami trauma berat baik secara fisiknya maupun mentalnya, bebrapa korban pasca kejadian itu mengalami sakit yang sangat parah malah beberapa banyak yag meninggal dunia karena melakukan percobaan bunuh diri dan percobaan bunuh diri ini dilakukan untuk menutup aibnya dan banyak juga yang harus pindah ke kota lainnya ataupun bahkan banyak yang pindah negara dikarenakan kejadian tersebut.

Dengan demikian kekerasan seksual yang diterima oleh perempuan etnis Tionghoa dikatakan sebagai tindakan deskriminasi karena munculnya stereotip yang diterima oleh etnis tionghoa, motifnya adalah bahwa kaum perempuan adalah  yang paling rentan mengalami kekerasa seksual terlebih lagi perempuan dari ras minoritas tionghoa. Mereka juga snegaja melakukan tindakan kekerasan pada etnis tionghoa karena perempuan etnis Tionghoa smata-mata untuk menghancurkan ras minoritas Tionghoa. 

Maka  dari sinilah dengan  adanya pemikiran R.A Kartini tentang perempuan dan kaum minoritas tionghoa merubah pandangan orang tentang stereotip perempuan tionghoa yang memang terlahir dengan kodrat yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Namun dengan perbedaan kodrat yang ada bukanlah menjadi pengahalang bagi kaum perempuan untuk berjuang atas hak-hak yang melekat pada dirinya sejak ia lahir. 

Nilai tentang perjuangan atas ketidak adilan terhadap perempuan terkait dengan marginalitas yang sudah sangat jelas tergambarkan dalam film "Kartini" (2017). 

Nilai yang diperjuangkan oleh R.A Kartini adalah nilai tentang keadilan dan pembebasan kaum perempuan atas mariginalitas dalam hal-hak kedudukan dalam kehidupan bermasyarakat dan pengembangan dirinya bagi seorang perempuan sehingga tidak dianggap remeh derajat dan martabat kaum perempuan dimata para laki-laki karena stereotip yang terjadi pada zaman dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun