Mohon tunggu...
Bayu Adi
Bayu Adi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Review Buku: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

28 Oktober 2020   23:36 Diperbarui: 30 Oktober 2020   15:33 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Bayu Adi Nugroho

I. Profil Buku

Judul: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Penulis : Neng Dara Affiah

Tahun Terbit: 2017

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Jumlah Halaman: 200 hlm

ISBN: 978-602-433-555-7

Profil Penulis:

Neng Dara Affiah, lahir di Pandeglang, Banten, 10 Desember 1969. Pengajar tetap Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) program sosiologi dan humaniora, dosen tamu beberapa universitas seperti pascasarjana Universitas Indonesia, pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STTJ). Konsultan The Asia Foundation (TAF) untuk hak-hak konstitusional perempuan (2017), Dewan Pengarah World Culture Forum (WCF) Kemendikbud-Unesco (2016), Komisioner Komnas Perempuan untuk Sub-Komisi Pendidikan, Partisipasi Masyarakat dan Resource Centre pada periode 2010-2014 dan Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan Litbang di lembaga yang sama untuk periode 2007-2009.

II. Isi Buku

Review pada objek fokus tentang buku "Islam, Kepimpinan Perempuan, dan Seksualitas" karya Neng Dara Affiah, akan penulis jabarkan menjadi tiga bagian dengan masing-masing ialah: Bab 1: Islam dan Kepemimpinan Perempuan, Bab 2: Islam dan Seksualitas Perempuan dan Bab 3: Perempuan Islam dan Negara

Bab 1: Islam dan Kepemimpinan Perempuan

Di awali dari Bab 1 dimana membahas tentang kesetaraan yang di dalamnya terdapat perdebatan antara kepemimpinan oleh laki-laki dan perempuan. Beberapa alasan kenapa laki-laki selalu bisa menjadi pemimpin ialah karena laki-laki adalah qowwam. Qowwam dalam sifatnya tradisional ialah pemimpin. Dengan pernyataan ini di Al-Quran (An-Nisa:34) hal ini menjadi syarat mutlak laki-laki untuk bisa memimpin. Selain itu, laki-laki mempunyai kekuataan dan kekayaan yang mampu menghidupi perempuan. Jika dimaknai secara lebih teliti, apalagi di era modern ini, kata qowwam mempunyai arti yang relatif seperti penanggung jawab, memiliki kekuasaan, pemimpin, penguasa dan kelebihan atas yang lain. Pernyataan ini relatif karena tergantung dari individunya kembali. Pernyataan ini didukung oleh Q.S Al-Baqarah: 30, dimana Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin. Kata manusia ini merujuk pada laki-laki dan perempuan. Jadi, perdebatan ini lebih ke arah orang-orang tradisional dan konservatif dimana mereka tidak bisa menghadapi perubahan zaman atau istilahnya tidak siap. Padahal Al-Quran dibuat selengkap mungkin untuk mengatur manusia dalam berkehidupan dan siap di segala situasi zaman.

Jika merilik kembali terhadap realita tersebut, sangat disayangkan bahwa perdebatan ini memunculkan stigma negatif terhadap perempuan. Padahal di muka bumi ini, perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Kenapa laki-laki dan perempuan tidak saling memotivasi agar mereka bisa menjadi pemimpin pada suatu tertentu? Bukankah hal ini lebih berguna dibanding melakukan perdebatan yang tiada habisnya? Padahal sudah jelas tersebut, bahwasannya manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi pemimpin.

Satu hal fakta yang terungkap ialah majunya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden kelima di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak pro dan kontra ketika beliau menempati kekuasaan tertinggi tersebut di negara ini. Salah satunya ialah berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak setuju Megawati menjadi Presiden. Pada saat itu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menang dalam pungutan suara yang diselenggarakan melalui pemilu yang demokratis. Dibalik itu, Megawati merupakan anak dari Presiden Pertama Indonesia, yaitu Soekarno. Dengan hal ini, mengundang simpatisan rakyat bahwa diyakini Megawati akan sesukses "Bung Karno". Bapakisme menjadi hal penting juga dimana Megawati akhirnya dilirik oleh rakyat Indonesia, sehingga Megawati menang dalam pemilu yang demokratis tersebut.

PPP mengemukakan bahwa "tidak boleh presiden perempuan". PPP akan memilih 'putra' terbaik, bukan 'putri' terbaik. Alasan lain kenapa isu gender ini langsung muncul dikarenakan beberapa faktor yaitu kekecewaan terhadap kualitas diri dan keraguan pada visi Megawati, didasarkan pada teologis (ayat-ayat) dan anggapan bahwa negara ini tidak akan kuat. Bahwasannya, hal ini yang mendorong sekali bahwa perempuan tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Megawati memiliki visi dan misi yang jelas, yang nantinya akan meyakinkan rakyatnya bahwa ia sebagai perempuan pantas memimpin Indonesia ini. PPP berpatokan bahwa pemimpin harus laki-laki didasarkan pada ayat yang tadi dan apa yang mereka tangkap itu secara subjektif. Maksudnya, mereka mengambil kesimpulan yang mengubah arti sesungguhnya dari ayat tersebut. Padahal sudah jelas di Al-Quran, Allah menciptakan manusia menjadi pemimpin. Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin. Yang terakhir ialah, perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah sehingga muncul anggapan bahwa negara Indonesia nantinya tidak akan kuat. Merilik apa yang terjadi di masa lalu, perjuangan perempuan tidak kalah gigih dengan apa yang dibilang. Emansipasi wanita merupakan tonggak tertinggi bagi perempuan untuk mengenyam bangku pendidikan, bekerja, dan bisa setara dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama dan bisa melakukannya secara bersama-sama. Contohnya saja dalam kursi pemerintahan, dimana banyaknya laki-laki dibanding perempuan. Seharusnya, dengan apa yang sudah dijelaskan, kedudukan mereka bisa sejajar. Sama halnya dengan anggapan dibelakang laki-laki hebat dan tangguh, ada perempuan kuat dan sabar yang mendukungnya.

Di akhir Bab 1, sosok kartini menurut Penulis Neng ialah neneknya sendiri. Itulah mengapa pada bagian ini diberi judul "Kartini yang Terkuburkan". Maksudnya disini ialah bahwa perjuangan-perjuangan perempuan untuk menjadi apa yang bisa laki-laki lakukan seperti mengenyam pendidikan, bekerja, dan menjadi wakil di pemerintahan bukan hanya dilihat melalui nama-nama besar seperti Kartini saja, melainkan banyak sekali perempuan yang tidak terekspose namanya padahal ia sudah melakukan apa yang Kartini lakukan untuk menujukkan bahwa perempuan setara dengan laki-laki dan perempuan itu kuat dan bisa seperti laki-laki.

Bab 2: Islam dan Seksualitas Perempuan

Selanjutnya beralih ke bab 2. Awal bab ini membahas tentang perkawinan dan dilihat melalui berbagai perspektif agama yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Salah satu fungsi perkawinan ialah untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Pada janji tersebut terungkap bahwa keduanya akan saling merajut kasih, saling melindungi, saling memelihara dan saling menyayangi. Dalam Islam, peristiwa ini disebut sebagai ijab-qabul. Dalam katolik, menyebutnya sebagai sakramen perkawinan, yakni perayaan iman dengan menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menunjuk kehadiran Tuhan pada saat peristiwa itu berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana untuk menjaga ketentraman tersebut?

Jika dilihat kembali melalui perspetif agama Islam, bahwa perempuan hanya diposisikan sebagai "penjaga" dimana perempuan harus berdiam diri rumah dan ataupun mau keluar rumah, itupun harus dalam keaadan darurat seperti memenuhi kebutuhan yang dilengkapi dengan memelihara kesucian dan menjaga kehormatan seperti memakai jilbab dan hijab. Pernyataan tadi, sesuai dengan pandangan agamawan konservatif yaitu Q.S Al-Azhab/33:73. Padahal realita dari ayat tersebut tidak demikian. "dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang terdahulu" merupakan isi dari Q.S Al-Azhab/33:73. Makna ini jika dilihat dari di era sekarang ini ialah bahwa ini situasional. Maksudnya ialah lebih baik perempuan di rumah dikarenakan jika ia keluar banyak kejahatan akan menimpanya karena pemikiran orang-orang pendek seperti perempuan itu lemah dan menjadi objek kebutuhan nafsunya saja. Perempuan boleh keluar rumah, dengan pakaian yang sopan dan tidak memancing keberadaan orang-orang pendek tersebut. Hal tersebut yang seharusnya dimaknai oleh masyarakat, karena jika terus menggunakan perspektif bahwa perempuan dilarang kemana-mana ataupun tugasnya hanya sebagai istri dan ibu yang hanya mengayomi suami dan istrinya, merupakan hal yang jelas dimana perempuan mengalami diskriminasi.

Sama halnya dengan perspektif agama Katholik, dalam Efesus: 22 dan Korintius 1 11:7-9 yang bermakna sampai sekarang bahwa perempuan (istri) di rumah sebagai pelengkap suami seperti halnya seseorang jemaat yang mematuhi yesus. Pandangan ini sangat mempengaruhi keberadaan perempuan di kalangan umat katholik. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan dan kebebasan atas dirinya sendiri serta peran yang seharunya perempuan inginkan. Hal tersebut dimaknai bahwa istri harus ikut suami sudah menjadi budaya bahkan implementasinya juga ada di Indonesia. Seharusnya, pandangan ini harus diubah dimana keinginan perempuan juga tidak bisa dipaksakan sebagai ciptaan makhluk Tuhan.

Fungsi perkawinan lainnya ialah untuk melahirkan keturunan. Dalam Yahudi, fungsi ini digunakan untuk kepentingan warisan ajaran. Agama yahudi secara jelas menyatakan fungsi ini, karena dengan keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian, dari generasi ke generasi, yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bagi kelangsungan teologinya. Dalam Katholik menekankan bahwa buah dari perkawinan adalah keturunan. Dalam Islam, kesinambungan antara ajaran Islam sangat ditentukan oleh keturunannya dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus mematuhi ajaran agamanya.

Fungsi Perkawinan lainnya ialah untuk menghindari zina. Dalam hal ini, pastinya semua agam sangat menentang perilaku ini. Zina adalah hubungan seksual diluar nikah. Yahudi menempatkan larangan zina ini menjadi salah satu pilar terpenting sebagai perintah tuhan. Katholik juga demikian, dimana mereka mengganggap zina sebagai tindakan pencabulan dan dianggap sebagai perbuatan dosa yang abadi. Dalam Islam, zina merupakan hal yang keji dan jalan terburuk bagi orang yang melakukannya. Sanksi yang berat seperti dibakar lidahnya, ditenggelamkan dalam air dan dilempar batu hingga kematiannya, merupakan perspektif dari Yahudi. Sedangkan dalam Islam, hukuman berupa hukum rajam sebanyak seratus kali baik laki-laki dan perempuan.

Perkawinan Poligami merupakan perkawinan memiliki suami atau istri lebih dari satu. Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan khususnya bagi perempuan. Fungsi poligami di zaman modern ini sudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang egois untuk memiliki banyaknya istri. Padahal di zaman Nabi Saw, fungsi poligami sebanyak empat istri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka karena suami mereka meninggal dan mereka menjadi janda atau kehidupan ekonomi mereka memang susah. Tetapi pada zaman ini, fungsi tersebut hanya menjadi kedok untuk menutupi keinginan mereka yang sebenarnya. Disinilah perempuan merasa hanya dijadikan alat pemuas oleh laki-laki sehingga perempuan mengganggap derajatnya selalu dibawah laki-laki.

Penggunaan hijab dan jilbab berfungsi untuk menutup aurat bagi perempuan. Hijab merupakan pakaian yang membungkus tubuh perempuan kecuali tangan dan muka, sedangkan jilbab merupakan sehelai kain untuk menutup di sekitar kepala perempuan sampai menutup rambut. Penggunaan hijab dan jilbab ini berfungsi untuk menghindari zina dan pandangan laki-laki akan tubuh perempuan sehingga menimbulkan tindakan pencabulan terhadap perempuan tersebut. Tetapi dengan adanya hijab dan jilbab, menimbulkan polemik dimana sebelumnya belum ada peraturan yang tertulis bahwa hijab dan jilbab boleh dipakai. Akhirnya setelah adanya peraturan yang mengatur tata cara berpakaian, fungsi hijab dan jilbab bisa dipakai. Satu lagi, fungsi hijab dan jilbab ini disalahgunakan oleh perempuan-perempuan yang duduk di pemerintahan untuk beranggapan kepada masyarakat bahwa ia baik dan shaleh. Padahal dibalik itu, tujuan mereka hanyalah untuk memenangkan kursi pemerintahan dan mendapatkan gaji yang tinggi.

Bab 3: Perempuan, Islam dan Negara

Terakhir dan sekaligus merupakan Bab terakhir dari buku ini. Bab ini diawali oleh teori tentang Feminisme. Teori ini ditujukan untuk gerakan politis untuk perempuan agar mereka tidak merasa dikucilkan dikucilkan di masyarakat. Feminisme dalam Islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang mempengaruhi dan menopang penafsiran syariah di satu sisi, dan HAM di sisi lain. Feminisme dalam Islam didasari pada sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Quran, Hadis dan seperangkat hukum Islam.

Selama ini, ada tiga kategori dan jenis penafsiran terhadap Al-Quran. Pertama, tafsir tradisional. Tafsir tradisional mengungkap kaum dan pengalaman laki-laki saja sedangkan perempuan tidak ada. Kedua, tafsit modern. Tafsir modern cenderung meletakan posisi perempuan secara tidak wajar. Dua tafsir ini yang mempunyai alasan kuat perempuan untuk menentangnya sekaligus memperjuangkan keberadaan perempuan. Ketiga, tafsir hermeneutik. Tafsir ini merupakan kesimpulan dari suatu makna ayat. Sumber lain dari Feminisme Islam ialah Hadis. Hadis merupakan perkataan atau cerita-cerita yang merujuk pada ucapan dan perilaku Nabi Muhammad. Sumber terakhir yaitu, hukum Islam. Hukum Islam membahas tentang Patrilocal, Matrilocal dan Bifocal. Patrilocal yaitu menerima hukum keluaga Islam dalam cara pandang yang melanggengkan ideologi patriarki. Matrilocal ialah yang menolak sepenuhnya hukum patrilocal. Bifocal  ialah memodifikasi hukum tersebut, dengan mempertimbangkan suara dan pengalaman perempuan.

Bentuk-bentuk dampak kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan ialah seperti kekerasan seksual, pengucilan dari komunitas, penurunan kesehatan dan gangguan jiwa, kehilangan akses ekonomi, kehilangan hak untuk berkeluarga, kehilangan status kependudukan. Jika dilihat dari anak yaitu diskriminasi dalam bidang pendidikan, reproduksi kebencian sesama anak, menyisakan trauma. Peran pria dalam perjuangan perempuan ialah pada gerakan laki-laki baru. Gerakan ini memunculkan bahwa kesetaraan dan keadilan pada setiap gender. Selain itu, para-para laki-laki di era modern terjun ke dalam badan-badan pemerintahan seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Anak, dimana bertujuan untuk memperjuangkan perempuan agar tidak mengalami perilaku diskriminatif.

Keperawanan atau Virginitas dilihat dari aspek Islam memiliki nilai yang lebih apalagi di masyarakat. Keperawanan dipersembahkan untuk pasangannya nanti karena keperawanan melambangkan kesucian bagi perempuan itu sendiri dan membuktikan ia masih lajang dan tidak berhubungan seksual diluar nikah atau zina. Permasalahan disini ialah dimana perempuan dipandang harga dirinya hanya dari keperawanannya saja. Jika ia tidak virgin, pasti label jelek sudah tertanam olehnya. Tetapi diluar itu, hal ini menjadi alat yang bisa menyerang perempuan atau menuduh bahwa perempuan tersebut tidak perawan. Hal ini yang mengakibatkan bisanya rusak mental perempuan tersebut padahal realitanya ia tidak melakukan zina atau perbuatan apapun yang merugikan dirinya sendiri.

Incest atau hubungan seksual terhadap anggota keluarganya. Perilaku ini dijelaskan oleh Sigmund Freud dalam teori Oidipus Complex. Teori ini menjelaskan bahwa kemungkinan ada hasrat seksual yang dimiliki oleh setiap anggota keluarga laki-laki terhadap anggota keluarganya yang perempuan. Kecenderungan ini sudah ada lama pada diri manusia. Perlunya agama disini agar setiap manusia senantiasa menjaga hasrat nya apalagi terhadap kaum perempuan.

Kesimpulan

Akhir kata, penulis mengambil kesimpulan yaitu bahwa perempuan bisa menjadi setara dengan laki-laki, perempuan bisa menjadi seperti apa yang laki-laki lakukan, bahkan perempuan bisa menjadi pemimpin sebaik laki-laki. Perlunya kesetaraan antara manusia, khususnya gender perempuan dan laki-laki agar semua pihak bisa menjalani kehidupan secara harmonis tanpa adanya gesekan atau isu-isu yang menimbulkan perpecahan. Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan bahwa perempuan bisa lebih kuat daripada laki-laki karena dibelakang laki-laki hebat, pasti ada perempuan kuat yang mendukung.

Buku ini merupakan alat yang pas untuk masyarakat, agar melek terhadap keberadaan perempuan yang masih beranggapan bahwa perempuan itu lemah, hanya menjadi budak, hanya menjadi istri atau ibu, hanya menjadi alat pemuas hasrat dan alat untuk dijadikan istri yang banyak. Dibalik itu semua, perjuangan perempuan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan bisa menjadi pemimpin sangatlah besar terutama oleh para pejuang perempuan seperti Kartini serta perempuan-perempuan hebat yang tidak terekspose namun peran dan andilnya ikut dalam perjuangan mewujudkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Kualitas yang dimiliki perempuan tidak kalah hebat dengan apa yang dimiliki oleh laki-laki. Bahkan, derajat perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yang menandakan ada yang spesial dari perempuan dibanding laki-laki. Hal ini harus diwujudkan oleh perempuan agar bisa bersanding dengan laki-laki. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun