Hampir lebih satu dasawarsa persoalan penegakan hukum di laut belumlah terselesaikan dengan tuntas. Banyaknya institusi penegakan hukum di laut yang berasal dari Kementerian dan Lembaga menjadi salah satu faktor dan kendala belum terpecahkannya tentang tata kelola kelembagaan penegakan hukum di laut sampai dengan saat ini. Â Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama (2004-2009) disahkan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran menggantikan UU No. 21 Tahun 1992. Dimana di dalam UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008 ini memuat 22 Bab dan 355 Pasal didalamnya. Termasuk bab dan pasal yang mengatur tentang pembentukan Penjagaan Laut Dan Pantai yang terdapat pada BAB XVII dan pasal 276 s/d 271. Dimana dalam aturan penutup UU No. 17 Tahun 2008 memerintahkan selambat lambatnya dalam kurun waktu 3 tahun setelah di undangkannya UU tersebut, untuk mengatur terkait teknis dan operasional dari Penjagaan Laut Dan Pantai kedalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pelaksana Lainnya.Â
Namun sampai dengan saat ini Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Pelaksana lainya untuk menjalankan fungsi dari Penjagaan Laut Dan Pantai amanat UU No. 17 Tahun 2008 belum terealisasi. Sementara di satu sisi, pada masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di periode kedua (2009-2014) disahkan nya UU No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Isi UU kelautan tersebut didalam ketentuan umumnya menyebutkan difinisi dari Lingkup pengaturan dalam penyelenggaraan Kelautan meliputi wilayah Laut, Sumber Daya Kelautan, Pembangunan Kelautan, Pengelolaan Kelautan, pengembangan Kelautan, pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut, Pencemaran Laut, serta kedudukan pemerintah baik pusat maupun daerah, dan Menteri yang mengatur didalam UU no. 32 tahun 2014 tersebut. Kemudian yang menjadi perdebatan besar sampai saat ini adalah BAB dan pasal di UU No. 32 Tahun 2014 tentang pertahanan, keamanan, penegakan hukum, keselamatan di Laut, dimana didalamnya menyebutkan tentang pembentukan Badan Keamanan Laut beserta fungsi dan kewenangannya (Psl 60-63). Â Ditambah lagi pada awal Presiden Joko Widodo menjabat, tepatnya kurang dari satu tahun di undangkannya UU. No 32 Tahun 2014 tersesbut pemetintah melalui Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres No. 178 Tahun 2014 Tentang Badan Keamanan Laut.Â
Padahal didalam ketentuan umum dan penutup UU No. 17 Tahun 2008 jelas berbunyi apa itu Sea And Coast Guard, Fungsi dan kewenangan yang mengatur didalamnya, namun sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pelaksana lainnya yang mengatur kelembagaan tersebut sampai dengan saat ini. Itu lah yang memicu perdebatan yang terjadi sampai hari ini di berbagai kalangan akademis, penggiat kemaritiman, dan para pelaku usaha terkait Lembaga penegakan hukum dilaut seperti mengibaratkan duluan mana Telur Atau Ayam yang harus diakui sebagai embrio dari Lembaga penegakan hukum di laut tersebut. Â Beberapa pekan ini muncul pernyataan tentang revisi UU 32/2014 tersebut, dimana Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Perubahan UU 32/2014 tersebut telah dibahas bersama Kementerian dan Lembaga terkait. Usulan perubahan UU 32/2014 yang diajukan oleh DPR RI atas usul DPD kepada Pemerintah. Dimana yang menjadi landasan revisi UU 32/2014 tersebut adalah terdapat irisan kewenangan antar lembaga di beberapa UU, khususnya terkait penegakan hukum pemberantasan kegiatan perikanan liar (illegal fishing), termasuk wacana untuk memperkuat Bakamla dengan KPLP melalui harmonisasi tata kelola dan kelembagaan lewat revisi UU 32/2014 tersebut.Â
Kalaupun yang menjadi dasar terhadap revisi UU 32/2014 dikarenakan adanya irisan kewenangan antar Lembaga di beberapa UU khususnya terkait penegakan hukum illegal fishing, seharusnya subtansi yang di revisi didalam UU tersebut mengenai penguatan kelembagaan dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan (PSDKP) yang di miliki oleh Kementerian Kelautan Dan Perikanan saat ini sebagai unsur Lembaga yang menangani ruang lingkup wilayah Laut, Sumber Daya Kelautan, Pembangunan Kelautan, Pengelolaan Kelautan, pengembangan Kelautan, pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut. Berbeda halnya dengan wacana penguatan kelembagaan Bakamla dengan KPLP melalui revisi UU 32/2014 ini, karenanya butuh kajian yang mendalam di dalam revisi UU 32/2014 agar tidak salah pada muatan subtansinya.
Sejarah Penjaga Laut dan Pantai Di Indonesia
Penjagaan Laut Dan Pantai sudah ada sejak zaman penjajahan belanda. Di Indonesia keberadaan satuan penjaga laut dan pantai memiliki dasar hukum yaitu Scheepvaart Reglement LN.1882 No.115 (Peraturan Maritim) bersama dengan LN.1911 No.399 (Polisi Perairan). Scheepvaart Ordonantie 1936/ Hukum Pelayaran (Stb.1936 No.700), Psl. 4 dan Peraturan 1939 Pasal 13. Saat Perang Dunia II di tahun 1942. Dan berganti sejak pengakuan kedaulatan NKRI tahun 1949 menjadi Dinas Penjaga Laut Dan Pantai (DPLP), di tahun 1962 berubah menjadi Operasi Polisionil di Laut (OPDIL), di tahun 1966 menjadi Biro Keselamatan Pelayaran (BKP), dan pada akhirnya pada tahun 1973 menjadi Kesatuan Penjagaan Laut Dan Pantai sampai dengan saat ini yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Rasanya tidak perlu menjadi perdebadan besar mana lebih dulu Bakamla atau KPLP untuk memperkuat tata kelola kelembagaan penegakan hukum di laut.
Status Hukum
Kepastian hukum tentang keamanan dan kesalamatan di laut tertuang di dalam Konvensi Solas 1974, dan mandatory atas International Maritime Organization (IMO) yang mana Indonesia termasuk dalam keanggotaan dari IMO itu sendiri pada tanggal 18 Januari 1961. Dimana pembentukan kelembagaan Sea And Coast Guard tertuang di dalam UU 17/2008 Tentang Pelayaran. Kalaupun didalam revisi UU 32/2014 yang nantinya akan melebur Bakamla dengan KPLP sebagai entitas/badan tunggal sebagai Coast Guard untuk mengharmonisasikan tata kelola kelembagaan penegakan hukum di laut dengan menghapuskan pasal-pasal yang ada di UU 17/2008 dan memasukkannya kedalam revisi UU 32/2014 dirasa kurang pas dan salah subtansi. Yang mana menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, di dalam pasal 7 (1) tentang hirarki peraturan perundang undangan dan (2) terkait kekeuatan hukum Perundang Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana yang di maksud pada ayat (1). Maka dapat disimpulkan bahwa revisi UU 32/2014 tidak bisa menghilangkan dari Undang-Undang lainnya karena mempunyai kedudukan yang sama.
Kelembagaan