KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
penulis :Bayu arfianto wahyudi
dosen pengampu : Rini fathomah,S.H.,M.H.
''Suami Bacok Istri 12 Kali hingga Tewas''
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kian marak terjadi. Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259 ribu laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2017. Pada 4 Januari 2018, masyarakat dihebohkan dengan kasus Suami menginjak perut istrinya yang sedang mengandung 8,5 bulan.
Lantaran cemburu dan tidak mau ditinggalkan oleh istrinya, seorang suami di RT 01, Kelurahan Pasar Muara Beliti, Kecamatan Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas nekat menghabisi nyawa istrinya dengan sadis, Senin 4 Desember 2017.
Peristiwa tersebut bermula dari kecemburuan suami terhadap korban yang ingin kabur dari rumah. R (33), suami korban mencegahnya pergi dari rumah dengan mengunci pintu. Namun, korban berhasil merebut kunci dari tangan pelaku.
Emosi pelaku pun meledak karena istrinya tetap ingin membuka pintu rumah. Lalu pelaku berlari ke dapur mengambil pisau dan langsung menusuk punggung istrinya berinisial Z (29) sebanyak 6 kali. Pelaku juga dua kali menyayat leher bagian belakang dan enam kali menusuk dada korban.
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.
Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:
"Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu."
Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H