Yang muda yang berkarya!
Saya sangat sependapat dengan ungkapan tersebut. Seluruh profesi yang ada di dunia ini, menempatkan anak muda, kaum milenial, generasi digital ke dalam barisan agen perubahan, agent of change.
Namun, pernahkan terlintas dipikiran kita semua, adakah anak muda yang turun ke sektor pertanian? Jelas ada. Hanya saja ngak banyak. Bener kan? Kurang antusias dan kurang berambisi atau kasarnya tidak antusias dan tidak berambisi.
Kita dapat belajar secara langsung, melihat fakta di lapangan, bahwasanya sektor pertanian bukanlah tempat yang nyaman dan aman sebagai jalan menuju kesuksesan di masa depan. Tak heran, anak muda tak suka mandi di sungai, menggiring kerbau ke kandang, bermain lumpur di sawah, bahkan memetik hasil kebun sendiri.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya manusia, terlebih dalam sektor pertanian. Ada ratusan ribu mahasiswa lulusan pertanian, akademisi di bidang pertanian, pelajar SMK di jurusan pertanian, hingga praktisi pertanian.
Kita tentu paham betul, potensi pertanian Indonesia sangat besar. Akan tetapi, mewujudkan hal tersebut sangat sulit, terlebih banyak dari mereka yang hanya belajar ilmu pertanian tapi tidak diimplementasikan, tidak diterapkan, dan tidak diaplikasikan dalam kehidupan petani.
Menggeluti dunia pertanian, butuh mental baja biar tidak mental. Usia muda dipaksa berpanas-panasan di tengah sawah, membungkuk membabi buta mencangkul tanah, memeriksa dan mendiagnosis secara jeli dan cermat hama tanaman. Memang besar tantangannya.
Menekuni profesi petani, butuh perjuangan dan pengorbanan besar. Usia belia dituntut menyusun strategi perang dagang, merelakan kongko-kongko dengan teman, memutuskan bergabung dengan kelompok tani, dan menelurkan ide kreatif dan inovatif dalam pertanian. Memang berat bebannya.
Bertani sama dengan berinvestasi.
Kalimat itu menjadi penyemangat bagi saya, bilamana drama pertanian yang sedang dihadapi tidak berpihak kepada saya.