Oktober kelabu. Ratusan nyawa hilang lenyap. Malang yang malang. Menuju pengorbanan terakhir sang sepak bola Indonesia. Di pangkuan Pertiwi, kita menangis dan bersedih sejadi-jadinya. Turut berduka cita sedalam-dalamnya. Semoga tenang di alam baka.
Kerusuhan semalam, Kanjuruhan. Membuat saya tercambuk untuk kesekian kali. Bagaimana tidak, peristiwa semacam itu selalu terjadi dalam kancah pertandingan sepak bola Indonesia. Seolah tidak ada upaya serius dari penyelenggara, guna membenahi atau meminimalisir terjadinya hal serupa.
Tak perlu saya sebut contoh kerusuhan lainya. Sudah banyak korban jiwa berjatuhan akibat celah peraturan yang tidak tegas. Berkali-kali mencoreng nama baik Indonesia di dunia Internasional. Seakan tradisi yang wajib dilestarikan dan dianggap lumrah, wajar, dan idem.
Tulisan ini bermuatan kritik, bukan bermaksud menghakimi, meski akhirnya pun akan menghakimi, melainkan menjadi usaha introspeksi, koreksi, evaluasi, dan peninjauan kembali apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh kita, semua pihak dalam pagelaran pertandingan sepak bola di seluruh tanah air.
Pertama, pemain sepak bola. Dalam setiap pertandingan, pasti ada sedikitnya dua kubu pemain sepak bola. Ada kawan dan lawan. Pada permukaan lapangan hijau, mereka menjadi lawan. Tapi, di sisi lain, bibir lapangan, ruang istirahat, hingga dunia maya, mereka menjadi kawan bukan lawan.
Kemampuan hardskill pesepak bola, jangan ditanya lagi. Mereka sangat mahir. Menendang, menyundul, menangkap, hingga menggiring bola ahlinya. Tapi, kemampuan softskill seperti pengendalian emosi, mungkin belum dapat dikatakan mahir. Sebab, masih ada saja tindak kekerasan yang dilakukan sesama pemain.
Andai saja, pemain sepak bola kita, ada semacam tes kepribadian dan kesehatan mental yang baik (bukan berarti yang telah ada saat ini buruk, tapi perlu ditingkatkan). Seperti ada patokan yang berlaku mengikat, ada standarnya, minimal 80%.
Mungkin batas yang cukup tinggi mengenai emosional seseorang, tapi demi menciptakan kondisi pertandingan yang legawa, aman, nyaman, dan tentram. Bolehlah dicoba.
Kedua, penyelenggara. Entah sistemnya penyelenggaran gabungan atau tunggal, tentu harus ada standar pelaksanaan dan sop yang baik. Aturan dan sanksi harus ditegakkan dengan maksimal. Hal ini diupayakan guna melindungi semua pihak, pemain sepak bola, panitia penyelanggara, suporter, hingga para reporter dari berbagai macam media massa.
Saya selalu heran, apa tidak ada aturan mengenai pelarangan membawa senjata tajam, benda tumpul yang terindikasi digunakan untuk kerusuhan (benda yang mencurigakan), hingga petasan atau semacamnya yang sebenarnya tidak perlu dibawa masuk ke dalam stadion.
Mengenai hari pelaksanaan pertandingan, ada sejarah kelam apa sehingga harus selalu ditandingkan di malam hari dan penghujung pekan. Atau ini upaya bisnis, sebab meraup keuntungan berlipat bila dilakukan pada waktu-waktu tersebut? Tak usah munafik, pasti iya.
Apakah tidak bisa, diselenggarakan di hari kerja (Senin-Kamis) pada jam pagi hari. Bukankah dahulu, kita diajarkan di sekolah untuk berolahraga di pagi hari, berkompetisi di pagi hari, latihan di sore hari, dan beristirahat di malam hari. Kemana implementasi ajaran tersebut?
Terkait sanksi apabila ada kerusuhan. Bukan sanksi uang yang saya harapkan dari para petinggi penyelenggara. Sebab, uang bisa dicari dengan mudah. Tapi, kesempatan berlaga tidak akan datang dua kali. Sesekali buatlah aturan sanksi skorsing pembekuan tim sepak bola selama satu musim.
Atau ada aturan maksimal perolehan kartu kuning selama musim pertandingan bagi tim sepak bola, misal maksimal tiga kartu kuning selama musim. Dengan begitu, mungkin kita akan melihat wajah-wajah baru tim sepak bola Pertiwi yang lebih berkualitas.
Ketiga, suporter tim sepak bola. Berdasarkan pepatah, banyak kepala semakin berisik dan pengambilan keputusan menjadi tidak mudah dan penuh tekanan (obsesi). Suporter bukanlah suatu organisasi, melainkan perkumpulan sejumlah orang yang memiliki tujuan yang sama tanpa ada aturan yang jelas, tanpa koordinasi, dan tanpa arah dalam arti bebas, tak terkontrol.
Segala tindakan yang dilakukan oleh suporter, dilandasi oleh pemikiran pribadi masing-masing individu. Jadi, segala resiko ditanggung secara pribadi.
Keempat, petugas keamanan. Andai ada aturan, tiap lima orang suporter dijaga oleh satu personel TNI/Polri guna menciptakan kesempurnaan keamanan, maka saya yakin, kerusuhan sekecil apapun tidak akan terjadi. Personel keamanan tersebut ditempatkan tribune-tribune berjajar berbaris duduk bersama suporter.
Kenapa harus seketat itu? Bukankah tugas mereka, TNI/Polri menjaga ketertiban masyarakat dan melindunginya dari segala macam marabahaya, termasuk gangguan? Terlebih ada banyak pasukan. Gak bakal kualahan. Toh gak ada pertandingan sepak bola yang diselenggaran dalam waktu dan jam yang sama? Pasti mampu. Yakin saya.
Oke, begitu saja kritik dan saran bagi dunia sepak bola Indonesia. Semoga ada upaya nyata dan serius dari mereka untuk membenahi wajah kusam sepak bola Indonesia.
Bayu Samudra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H