Beredar banyak cerita atau kronologi fiksi, mengenai kisah-kisah korban erupsi Semeru di berbagai media sosial. Sebut saja kisah Rumini.
Ditemukannya korban erupsi Semeru dalam berbagai moment, seperti terkubur dalam bangunan atap rumah yang tertimpa abu vulkanik, berpelukan dengan keluarga tercinta, bahkan dalam keadaan menghadap Tuhan.Â
Kondisi korban yang demikian, membuat berbagai relawan mencoba menganalisa kejadian erupsi tersebut guna mengaitkan antara sikap dan moral manusia terhadap manusia lainnya dalam keadaan genting.
Sehingga, memunculkan beberapa cerita dramatis menyayat hati yang membuat pembaca kisah berlinang dan bercucuran air mata. Sedih, pedih, ngeri, dan mencekam.
Kisah dari relawan yang membentuk sebuah opini menggiring publik bahwa apa yang diceritakan atau dituliskan adalah fakta adanya. Meski, relawan dan saya sendiri tidak tahu Persih bagaimana kejadiannya sehingga para korban ditemukan dalam keadaan haru duka.
Bagaimana tidak saya katakan cerita fiksi, bahwasanya narasi yang tersebar di media sosial menggambarkan sebuah percakapan antara ibu dan anak misalnya. Yang jelas, ini tidak ada yang tahu, kecuali Tuhan dan mereka yang bergelut dengan nasib hidup dan mati. Kecuali, bilamana yang bersangkutan dapat selamat, maka lain ceritanya.
Yang pasti, paling tidak cerita para relawan dengan asumsinya dapat dibenarkan agar menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua. Pembelajaran tentang rasa peduli, rasa hormat, rasa patuh, rasa cinta, dan rasa kasih sayang.
Dari berbagai kisah fiksi yang tersebar luas di media sosial dengan sudut pandang relawan yang menggugah hati, kita dapat belajar banyak tentang makna kehidupan manusia, antara lain;
Pertama, kita belajar menyerahkan jiwa raga kepada Tuhan semesta alam. Sebab hidup dan mati diri kita, ada di tanganNya. Tidak ada keraguan bagi kita, untuk menghindari sejengkal pun takdir kematian kita.Â
Hal ini ditafsirkan melalui penemuan korban erupsi Semeru yang berada di dalam rumah, sehingga mereka tertimpa, terkubur oleh abu vulkanik.